BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, suatu masyarakat sekarang
hidup dalam dua macam kepemimpinan. Pimpinan formal dan pemimpin non formal.
Formal adalah Pemerintah, mulai dari presiden, menteri, dirjen, gubernur,
bupati, camat, dan seterusnya. Non formal adalah tokoh- tokoh masyarakat, alim
ulama, pemimpin dari berbagai agama lainnnya. Sejarah perjuangan kemerdakaan
membuktikan adalah berkat peran serta penuh dari tokoh agama, yang berhasil
menggerakkan umat dan rakyat untuk melibatkan diri di dalam perjuangan
kemerdakaan itu.
Dalam Negara yang merdeka dan membangun seperti
sekarang ini, tidak berlebihan jika dikatakan suatu program pemerintah yang
perlu melibatkan rakyat, tidak mungkin terlaksana tanpa keikutsertaan tokoh
agama, khususnya alim ulama. Sebaliknya kalau tokoh yang merupakan informal
leader atau non formal leader ikut berperan serta aktif, karena itu merupakan
jaminan.
Untuk keberhasilan pembangunan, kita harus
memobilisasi fund and forces, dana dan kekuatan. Di dalam Negara yang
sudah berkembang, dana dari pajak sangat tinggi sehingga mereka dapat mandiri,
tidak bergantung kepada dana dari luar. Di Indonesia, jika menginginkan
mengurangi ketergantungan kita kepada bantuan luar negeri, antara lain jalan
satu-satunya ialah menigkatkan pendapatan pajak. Tetapi pada kenyataannya jika pajak dinaikkan
terlalu tinggi banyak sebagian dari masyarakat menolak atas kenaikan tersebut.
Disinilah peran serta para ulama untuk ikut serta dalam mobilisasi dana melalui
sistem lainnya dengan tetap mempertahankan pula sistem perpajakan yaitu zakat.
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengaitkan antara shalat
dan zakat. Itu suatu tanda bukti tentang
betapa pentingnya zakat di dalam Islam. Dan dari lima Rukun Islam, yang mempunyai
aspek social kemasyarakatan hanya zakat. Jadi zakat merupakan intregated
part atau bagian yang tidak terpisahkan dari agama kita. Masalah yang
sering timbul di dalam soal zakat adalah kurangnya kepercayaan dari rakyat dan
masyarakat kepada badan pengelola itu sendiri. Sebab sering pengurus jadi
urusan. Maka kita perlukan satu badan yang mempunyai intregitas dan dipercaya
oleh umat.
Tidakkah terpikirkan apabila pajak dan zakat sama-sama
dilaksanakan, maka kemungkinan besar akan menjadi dampak yang baik bukan hanya
untuk masyarakat tetapi juga untuk negara terutama dalam hal APBN (Anggaran
Pengeluaran dan Belanja Negara) dan juga meminimalisir adanya deficit budget
anggaran negara.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana harmonisasi zakat dan pajak dapat mengatasi permasalahan
ekonomi dalam suatu negara dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup umat
melalui kajian teoritis.
C.
Tujuan
Untuk mengetahui salah satu cara pemecahan masalah ekonomi dalam suatu negara
terutama negara islam dengan cara penerapan zakat dengan mempertahankan
efisiensi penggunaan pajak yang diterapkan oleh pemerintah sehingga terciptanya
harmonisasi antara zakat dan pajak sebagai sumber dana masyarakat (umat) dan
negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pajak
Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang - sehingga dapat
dipaksakan dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di
bawah naungan Kementerian Keuangan Republik
Indonesia.
Dari berbagai definisi yang
diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai
pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian
secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik
kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain
sebagai berikut:
1.
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini
sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam
undang-undang."
2.
Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi
perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat
membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya
dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3.
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan
pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik
rutin maupun pembangunan.
4.
Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat
dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
5.
Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi
Kas Negara atau Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi
mengatur atau regulatif).
Pajak mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan
karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di
atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
·
Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan
lain sebagainya. Untuk
pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus
ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan
ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
·
Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan
fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan
berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi
dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar
negeri.
·
Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
·
Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan
untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
B.
Zakat
Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib
dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang
berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syariat Islam. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar
(masdar) dari zakat yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik.[1] Sesuatu itu
zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seorang itu zaka, berarti orang itu
baik. Menurut lisan al-Arab arti dasar dari kata zakat, ditinjau dari
sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan
terpuji. Semuanya digunakan di dalam Quran dan hadits.
Tetapi yang terkuat, menurut Wahidi dan lain-lain, kata dasar Zaka
berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu Zaka,
artinya tumbuh, sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut Zaka artinya
bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka di sini berarti
bersih.
Dan bila seseorang diberi sifat zaka dalam arti baik, maka berarti
orang itu lebih banyak mempunyai sifat yang baik. Seorang itu zaki, berarti
seorang yang memiliki lebih banyak sifat-sifat orang baik, dan kalimat
“hakim-zaka-saksi” berarti hakim menyatakan jumlah saksi-saksi diperbanyak.
Zakat dari segi istilah fikih berarti “sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak” di samping berarti
“mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan
itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu” menambah banyak, membuat lebih
berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan,” demikian Nawawi mengutip
pendapat Wahidi.[2]
Ibnu Taimiah berkata, “jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih
dan kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya.[3] Arti “tumbuh”
dan “suci” tidak dipakaikan hanya buat kekayaan, tetapi lebih dari itu, juga
buat jiwa orang yang menzakatkannya, sesuai dengan firman Allah suart At-Taubah ayat 103 :
“pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau
bersihkan dan sucikan mereka dengannya”.
Zakat
merupakan rukun ketiga dari rukun Islam. Zakat merupakan
salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat
Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas
setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam
kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa
yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga
merupakan sebuah kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun.
Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
·
Zakat fitrah
Zakat yang wajib
dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan suci Ramadan. Besar zakat ini
setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah
bersangkutan.
·
Zakat maal (harta)
Zakat yang dikeluarkan
seorang muslim yang mencakup hasil
perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan,
emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak merupakan tambang elok, Allah memberi padanya banyak
manfaat yang tak terdapat pada aneka tambang lain. Lantaran kelangkaan dan
keindahannya, bangsa manusiia telah menjadikannya uang dan nilai tukar bagi
segala sesuatu sejak kurun-kurun lalu.
Dari sisi ini, syariat memandang emas dan perak dengan pandangan
tersendiri, dan mengibaratkannya sebagai suatu kekayaan alam yang hidup.
Syariat mewajibkan zakat keduanya jika berbentuk uang atau leburan logam, dan
juga jika berbentuk bejana, souvenir, ukiran atau perhiasan bagi pria.
Adapun jika dipakai sebagai perhiasan bagi wanita, maka hukumnya
menjadi lain, yang dalam hal ini para fuqaha berbeda paham. Untuk hal ini,
zakat emas dan perak terbagi ke dalam dua pembahasan yaitu : zakat uang dan
persyaratan-persyaratannya, dan zakat perhiasan dan hadiah berikut perincian
dan perbedaan pendapat tentangnya.
1.
Zakat
uang
Sebagaimana
telah menjadi kesepakatan kaum muslimin atas kewajiban zakat uang, maka mereka
pun bersepakat atas ukuran kewajiban pengeluaran zakatnya. Disebutkan dalam al-mughni,
bahwa tidak ada perbedaan pendapat ulama, bahwa zakat emas dan perak adalah dua
setengah (2 ½ %), seperti yang telah ditetapkan dalam hadits Rasulullah “pada
riqqah 2 ½ %”.
Dalam
hal ini syariat telah meringankan ukuran. Syariat tidak menjadikannya 10% atau
5% umpamanya, seperti dalam zakat tanaman dan buah-buahan, karena tanam-tanaman
dan buah-buahan, dalam kaitannya dengan bumi merupakan untung bagi pemilik
harta. Maka seolah-olah zakat padanya merupakaannya pajak atas keuntungan
pemelihara. Berbeda dengan zakat uang, maka ia merupakan smacam pajak atas
pemiliknya baik untung maupun rugi.
Dalam
hadits ‘muttafaq ‘alaih’ disebutkan “tidak ada pada selain 5 awqiyah sedekah
(zakat)”[4].
Dalam surat Al-Kahfi : “Maka suruhlah salah seorang diantara kamu ke kota
dengan membawa uang perakmu.” Kata ‘warq’ dalam hadits ini berarti dirham.
Awqiyah seperti kita ketahui adalah 40 dirham, sesuai dengan nash yang masyhur
dan kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana Nawawi berkata : lima uqiyah sama
dengan 200 dirham.
Terbukti
bahwa uang perak banyak beredar dan dipakai di kalangan orang-orang Arab pada
masa Nabi. Oleh karena itu, hadits-hadits yang masyhur menyebutkannya dan
menetapkan ukuran zakat yang dikeluarkan dan jumlah nisabnya. Maka menjadi
jelaslah yakni 200, atau nisab perak adalah 200 dirham. Hal ini tidak menjadi
pendapat ulama islam. Adapun uang emas (dinar) tidak terdapat dalam hadits
tentang nisabnya sekuat hadits tentang perak. Oleh karena itu, nisiab emas
belum mencapai kesepakatan seperti halnya perak. Hanya para jumhur terbesar
dari fuqaha berpendapat bahwa nisab emas adalah 20 dinar.
2.
Zakat
perhiasan dan hadiah
Diantara
pemakaian yang diharamkan adalah ada unsur berlebih-lebihan yang menyolok
perhiasan seorang perempuan. Hal itu dapat diketahui dengan penyimpanan seorang
perempuan tersebut dari kebiasaan lingkungan, zaman dan kekayaan umatnya. Jika
perhiasan tersebut dipersiapkan untuk pemakaian yang mubah seperti perhiasan
perempuan yang tidak berlebih-lebihan, dan apa yang dipersiapkan untuk mereka,
serta cincin perak seorang laki-laki maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena
perhiasan tersebut tidak merupakan harta yang berkembang,, karena merupakan
diantara kebutuhan-kebutuhan manusia dan perhiasannya seperti pakaiannya,
peralatannya dan kenikmatannya dan telah dipersiapkan untuk pemakaian yang
mubah maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya seperto binatang yang dipekerjakan
seperti unta dan sapi.
Tidak
ada perbedaan antara perhiasan mubah tersebut dimiliki oleh seorang perempuan
dan dipakainya sendiri atau dipinjamkan dengan perhiasan tersebut milik seoarng
laki-laki dan dipakainya sendiri atau dipinjamkannya atau dipersiapkan untuk
itu. Yang wajib dizakati dari perhiasan
atau tempat-tempat atau museum adalah sebesar ukuran mata uang dan dikeluarkan
zakatnya, sebanyak 2 ½ % setiap tahunnya dengan hartanya yang lain jika memiliki.
Hal
ini dengan syarat mencapai nisab, yaitu 85 % gram emas, yang mu’tabar dadalah
nilainya dan bukan ukurannya. Karena perbuatannya mempunyai pengaruh terhadap
penambahan nilainya.
Zakat binatang ternak
Dunia binatang amat luas dan banyak tetapi yang berguna bagi
manusia hanya sedikit yaitu unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri.
Binatang-binatang tersebut telah dianugerahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan
manfaatnya banyak diterangkan dalam ayat-ayat suci Quran. Allah berfirman :
(Q.S
Surat Quran An-Nahl :
5-7) :
Artinya : Dan dia Telah menciptakan
binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh
pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan
ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu
ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan
kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ayat
lain, firman Allah : (Qur’an surat
An-Nahl :80) :
Artinya : Dan Allah menjadikan bagimu
rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah
(kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya
di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari
bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan
(yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
Ayat
lain lagi, firman Allah : (Qur’an surat An-Nahl :66) :
Artinya : Dan Sesungguhnya pada binatang
ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari
pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan
darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
Dan
juga firman Allah : (Qur’an surah Yasin : 71-73) :
Artinya : Dan apakah mereka tidak melihat
bahwa Sesungguhnya kami Telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu
sebahagian dari apa yang Telah kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri,
lalu mereka menguasainya? Dan kami tundukkan binatang-binatang itu untuk
mereka; Maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka
makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah
mereka tidak bersyukur?
Binatang-binatang ternak itu semuanya diciptakan Allah untuk
kepentingan manusia, antara lain untuk ditungganginya sebagai kendaraan dimakan
dagingnya, diminumnya susunya dan diambil bulu dan kulitnya. Oleh karena itu
pantaslah Allah meminta para pemilik binatang itu bersyukur atas nikmat yang
telah dianugerahkanNya kepada mereka.
Realisasi konkrit dari
syukur tersebut sesuai denagn tuntunan Qur’an dan hadits Nabi adalah “zakat”
beserta batasan tentang nisab dan besar yang wajib dikeluarkan dan pengiriman
para petugas pemungut zakat setiap tahun kepada mereka yang wajib berzakat
serta ancaman siksaan di dunia dan azab di akhirat bagi orang-orang yang tidak
mau berzakat.
Binatang ternak khususnya unta merupakan harta yang paling berharga
dan paling anyak digunakan bagi orang Arab. Oleh karena itu, ditentukan berapa
nisab dan besar zakat yang harus dikeluarkan. Dan banyak negara di dunia sumber
pendapatannya yang utama adalah ternak dengan jumlah ternak mencapai jutaan
ekor. Di antara negara-negara itu misalnya Sudan, Somali, Ethiopia dan
lain-lain.
Zakat perniagaan
Ini adalah pandangan jumhur ulama sejak zaman
sahabat, tabi’in, dan fuqaha berikutnya, tentang wajibnya zakat harta
perniagaan, ada pun kalangan zhahiriyah mengatakan tidak ada zakat pada harta
perniagaan. Zakat ini adalah pada harta apa
saja yang memang diniatkan untuk didagangkan, bukan menjadi harta tetap dan
dipakai sendiri.
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah mengatakan
tentang batasan barang dagangan: “Seandainya
seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri seperti mobil yang akan
dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan nanti dia akan
menjualnya, maka itu juga bukan termasuk barang tijarah (artinya tidak wajib
zakat, ). Hal ini berbeda dengan jika seseorang membeli beberapa buah mobil
memang untuk dijual dan mengambil keuntungan darinya, lalu jika dia mengendarai
dan menggunakan mobil itu untuk dirinya, dia menemukan adanya keuntungan dan
menjualnya, maka apa yang dilakukannya yaitu memakai kendaraan itu tidaklah
mengeluarkan status barang itu sebagai barang perniagaan. Jadi, yang jadi
prinsip adalah niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, dia tidak
meniatkan untuk menjual dan mencari keuntungan, maka hal itu tidak merubahnya
menjadi barang tijarah walau pun akhirnya dia menjualnya dan mendapat
keuntungan. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat merubah barang dagangan
menjadi barang yang dia pakai sendiri, maka niat itu sudah cukup menurut
pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan statusnya sebagai
barang dagangan, dan masuk ke dalam kategori milik pribadi yang tidak berkembang.[5]
Zakat buah-buahan
Para fuqaha sepakat atas kewajiban zakat tanaman
dan buah-buahan. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam jenis tanaman dan buah
apa saja yang dizakatkan. Secara ringkas sebagai berikut: Zakat
tanaman dan buah-buahan hanya pada yang disebutkan secara tegas oleh syariat,
seperti gandum, padi, biji-bijian, kurma dan anggur, selain itu tidak ada
zakat. Ini pendapat Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Sufyan Ats Tsauri, dan Imam
Asy Sya’bi. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy Syaukani.
Pendapat ini berdasarkan wasiat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari
ketika mereka diutus ke Yaman: “Janganlah kalian ambil zakat kecuali dari empat
macam: biji-bijian, gandum, anggur kering, dan kurma. [6]
Nishabnya adalah jika hasilnya sudah mencapai 5
wasaq, sebagaimana disebutkan dalam hadits: Tidak ada zakat pada apa-apa yang
kurang dari lima wasaq.[7]
Wasaq adalah enam puluh sha’ berdasarkan ijma’, dan satu sha’ adalah empat mud,
lalu satu mud adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang dewasa. Dr. Yusuf
Al Qaradhawi telah membahas ini secara rinci dalam kitab monumental beliau,
Fiqhuz Zakah, dan menyimpulkan bahwa lima wasaq adalah setara dengan +/- 653
Kg.
Zakat rikaz (barang temuan dan barang
tambang
Rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya seperlima
adalah semua yang berupa harta seperti emas, perak, besi, timah, tembaga,
bejana, dan yang semisalnya. Inilah pendapat Hanafiyah, Hanabilah, Ishaq, Ibnul
Mundzir, satu riwayat dari Malik, salah satu pendapat dari Asy Syafi’i.
Pendapat yang lain: bahwa seperlima tidaklah wajib kecuali pada mata uang:
yaitu emas dan perak.[8]
Zakat rikaz dikeluarkan tanpa menunggu haul, tapi dikeluarkan ketika
menemukannya, juga tidak ada nishab. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas).
Zakat Profesi
Ini adalah jenis zakat yang diperselisihkan para
ulama. Hal ini sama dengan sebagian zakat lainnya, seperti zakat sayur-sayuran,
buah-buahan selain kurma, dan zakat perdagangan. Sebagian kalangan ada yang
bersikap keras menentang zakat profesi, padahal perbedaan seperti ini sudah ada
sejak masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat tentang ada tidaknya zakat
sayuran, buah, dan perdagangan tersebut. Seharusnya perbedaan pendapat yang
disebabkan ijtihad seperti ini tidak boleh sampai lahir sikap keras apalagi membid’ahkan.
Mereka yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, memandang ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:
Mereka yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, memandang ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:
- Profesi yang dengannya menghasilkan uang, termasuk kategori
harta dan kekayaan.
- Kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan
bertambah, tidak tetap, ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk
disewakan. Dilaporkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat tentang
seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab,
bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa
persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan
wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab, walau tanpa haul.
- Selain itu, hal ini juga diqiyaskan dengan zakat tanaman,
yang mesti dikeluarkan oleh petani setiap memetik hasilnya. Bukankah petani
juga profesi? Sebagian ulama menolak menggunakan qiyas dalam masalah ini,
tetapi pihak yang mendukung mengatakan bukankah zakat fitri dengan beras ketika
zaman nabi juga tidak ada? Bukankah nabi hanya menyontohkan dengan kurma dan
gandum? Saat ini ada zakat fitri dengan beras karena beras adalah makanan pokok
di Indonesia, tentunya ini juga menggunakan qiyas, yakni mengqiyaskan dengan
makanan pokok negeri Arab saat itu, kurma dan gandum. Jadi, makanan apa saja
yang menjadi makanan pokok-lah yang dijadikan alat pembayaran zakat. Jika mau
menolak, seharusnya tolak pula zakat fitri dengan beras yang hanya didasarkan
dengan qiyas sebagai makanan pokok.
Tabel 1. Perhitungan Nisab dan kadar
yang wajib dizakati
No
|
Benda Wajib Zakat
|
Nishab
|
Zakat
|
1.
|
Uang Tunai
|
86 gram atau 595 gr Perak atau 20 dinar atau
200 dirham
|
2,5 %
|
2.
|
Perdagangan
|
||
3.
|
Emas dan Perak
|
||
4.
|
Tambang atau Mineral
|
||
5.
|
Saham atau Obligasi atau
Pendapatan
|
||
6.
|
Pertanian
|
5 wasq atau 652,8 Kg
|
|
|
·
irigasi
|
5 %
|
|
|
·
Tadah Hujan
|
10 %
|
|
|
·
Campuran
|
7,5 %
|
|
7
|
Barang Temuan
|
Tidak ada nishab
|
20 %
|
8
|
Binatang Ternak
|
|
|
|
·
Kambing atau domba
|
40 ekor
|
2 kambing jantan 1 tahun atau 1 kambing betina
1 tahun
|
|
·
Sapi atau Kerbau
|
30 ekor
|
1 sapi 1 tahun
|
|
·
Unta atau Kuda
|
5 ekor
|
2 kambing jantan 1 tahun atau 1 kambing betina
1 tahun
|
C.
Zakat
sebagai suatu sistem
Dalam harta perbendaharaan Islam, kekayaan setiap anggota
masyarakat wajib dikesampingkan bagian-bagian tertentu, lalu digunakan untuk
kemajuan da kesejahteraan masyarakat sebagai suatu sistem social yang
diwujudkan dalam bentuk semacam pemungutan uang yang disebut zakat.
·
Anggaran
Belanja Islam
Zakat
itu sendiri bermakna : Mensucikan dan
Menyuburkan, Berkembang dan Berlipat Ganda.
Hasil zakat wajib diberikan sebagai suatu bagian dari anggaran
perbelanjaan Islam untuk obyek-obyek pembangunan yang spesifik. Zakat sebagai
suatu sistem kontribusi keuangan adalah tugas wajib tiap pribadi muslim yang
dikeluarkan seperempat puluhnya dari seluruh harta kekayaan. Ia menjadi wajib
yang mutlak bagi setiap muslim yang mampu dan sudah sampai tahun
pengeluarannya, untuk kesejahteraan masyarakat dan negara.[9]
Kewajiban zakat ini mempunyai kedudukan yang potensial dalam harta
perbendaharaan islam. Yang wajib diselamatkan untuk kepentingan perjuangan
islam pada semua aspek kehidupan masyarakat. Hukum syara’
Islam menentukan bahwa zakat itu adalah milik bersama kaum muslimin. Wajib
disalurkan dalam bentuk-bentuk tertentu, untuk menjamin kemakmuran bersama.
Tidak ditunda sesaat pun apabila telah sampai waktu pengerluarannya. Bahkan
dalam keadaan yang luar biasa, zakat itu perlu dikeluarkan walaupun belum
sampai tahun perhitungannya.
Peranan utama yang dapat diambil dari harta zakat ialah untuk
kemakmuran seluruh warga. Inilah tujuan-tujuan suci dan maksud Allah
memerintahkan wajib zakat. Harta islam dilarang beredar dalam lingkungan
tertentu saja. Tetapi dengan makna hakiki islam itu harus menjadi milik bersama
masyarakat, dalam ketentuan-ketentuan hukum yang positif. Karena dalam hartu
kaum muslimin itu terdapat kewajiban individu menginfakkan hartanya atas dasar
mentaati perinta syara’. Dan hak masyarakat untuk mengambil bagian tertentu
dari harta tersebut atas dasar hukum syara’ Islam.
·
Lembaga
saving islam
Amir Syakib Arselan dalam kitabnya “Hadhirul Alamil Islamy” menulis
sebagai berikut : “ajaran zakat adalah asas yang maha pentiing dalam sistem
kemasyarakatan islam”.
Zakat adalah saudara kembarnya shalat. Dengan mempraktekkan zakat
secara efektif dan teratur baik umat islam dapat menghapuskan kemelaratan, dan
menghindarkan pertentangan dalam hidup umat manusia. Sebaliknya apabila umat
islam lalai menunaikan kewajiban zakat, maka masyarakat mereka akan terancam
oleh gerakan sosialisme, dan komunisme di satu pihak, sedangkan di pihak lain
negara mereka akan dokoyak-koyak oleh negara-negara kapitalisme yang akan
menguasai ekonomi dan perdagangan mereka. Ibarat tali yang direntangkan untuk
tempat berpegang, tetapi di samping itu di suatu kesempatan baik dibelitkan
pada jasad negara it utundiri. Sungguh kita tidak menemui alat pertahanan
apapun yang dapat melindungi islam dari bahaya yang sedang mengancam itu,
kecuali dengan membangun kembali kewajiban zakat menurut sistem yang diajarkan
islam, dengan syarat diurus oleh suatu departemen atau paling kurang satu
lembaga bagi masyarakat islam.”
Peraturan zakat memaksakan kepada pemilik-pemilik harta, para
saudagar dan orang-orang yang mampu, untuk mengeluarkan dengan ukuran-ukuran
yang sudah ditentukan, dipergunakan oleh pemerintah buat menolong warganya yang
melarat dan lemah. Zakat itu juga
memerlukan tabir pembatasan antara golongan-golongan pemerintah, dan menjadikan
rakyat bersatu dalam lingkaran kemasyarakatan yang adil dan merata.[10]
Amir Syakib ataupun Marx Wilhem menegaskan zakat itu harus tersusun
dalam organisasi atau lembaga yang teratur rapi. Sistem itu mempertegaskan pula
hakekat amil dalam zakat itu sendiri, yang langsung merupakan satu lembaga,
yang akan melaksanakan tugas-tugas zakat. Zakat dengan sutau organisasi yang
teratur akan merupakan lembaga saving yang mempunyai arti moneter yang cukup
besar serta dana investasi jangka menengah dan jangka panjang.
Investasi yang kelak akan terbagi dalam daerah-daerah permoalan
dari pekerjaan-pekerjaan perseorangan, sampai kepada usaha-usaha kecil dalam
masyarakat. Dana perjuangan akan
terhimpun secara berimbang dan merata dalam pembangunan-pembangunan dan
amal-amal social lainnya.
D.
Tujuan
Zakat dan dampaknya pada kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat
·
Tujuan
zakat dan dampaknya pada kehidupan pribadi
1.
Zakat
mensucikan jiwa dari sifat kikir
Zakat
yang dikeluarkan si Muslim semata karena menurut perintah Allah dan mencari
ridhaNya, akan mensucikannya dari segala kotoran doosa secara umum dan terutama
kotornya sifat kikir. Sifat kikir yang tercela itu, yang merupakan tabiat
manusia, yang dengannya manusia itu diuji, karenanya Allah SWT sebagai rasa
sayangNya kepada manusia, menanamkan cara-cara untuk menghilangkan tabiat dan
watak itu.
Manusia
digiringnya untuk bekerja dan meramaikan bumi ini, sehingga timbullah rasa
keinginan untuk memiliki, keinginan pada sesuatu benda dan keinginan untuk
tetap memiliki selama-lamanya. Sebagai akibatnya timbullah rasa kikir pada diri
manusia terhadap apa yang ada pada dirinya, lebih mementiingkan diri sendiri
terhadap hal-hal yang baik dan bermanfaat daripada orang lain, sebagaimana
firmanNya surat al-israa ayat 100 “Dan adalah manusia itu sangat kikir”, surat
al-ma’arij ayat 19 yang artinya “Manusia itu tabiatnya adalah kikir”.
Maka
bagi manusia yang tinggi nilainya atau manusia Mu’min, wajib berusaha mengatasi
sifat mementingkan diri sendiri dan
sifat keakuannya, berusaha menghilangnya sifat-sifat kikir itu dengan rasa
keimanannya.
2.
Zakat
mendidik berinfak dan memberi
Sebagaimana
halnya zakat mensucikan jiwa si Muslim dari sifat kikir, ia pun mendidik agar
si Muslim mempunyai rasa ingin memberi, menyerahkan dan berinfak. Si muslim
bersiap-siap untuk berinfaq dan mengeluarkan zakat tanamannya apabila panen,
pendapatan apabila ada, zakat hewan ternaknya, uang dan harta pedagangnya,
apabila dating tahun, dan mengeluarkan zakat fitrahnya pada setiap hari raya
idul fitri.
Dengan
ini jadilah memberi dan berinfak sifat dan akhlak utama bagi dirinya. Atas
dasar itu pula, maka akhlak yang semacam ini merupakan sifat-sifat dari Mu’min
muttakin dalam pandangan Quran.
3.
Berakhlak
dengan akhlak Allah
Manusia
apabila sudah suci dari kikir dan batil, dan sudah siap untuk memberi dan
berinfak, akan naiklah ia dari kekotoran sifat kikirnya, sebagaimana firman
Allah :
“dan adalah manusia itu
sangat kikir.” (Al-Quran Surat Al-Israa : 100)
Dan ia hampir
mendekati kesempurnaan sifat Tuhan, karena salah satu sifatNya adalah
memberikan kebaikan, rahmat, kasih saying dan kebajikan, tanpa ada kemanfaatan
yang kembali kepadaNya. Berusaha untuk menghasilkan sifat-sifat ini, sesuai
dengan kemampuan manusia, adalah berakhlak dengan akhlak-Allah dan itulah ujung
dari kesempurnaan nilai kemanusiaan.
4.
Zakat
merupakan manifestasi syukur atas nikmat Allah
Sebagaimana
dimaklumi, dapat diterima oleh akal, diakui oleh fitrah manusia, diseur oleh
akhlak dan moral serta diperintahkan oleh agama dan syariat, adalah bahwa
pengakuan akan keindahan dan syukur terhadap nikmat itu, merupakan sesuatu
keharusan. Zakat akan membangkitkan bagi orang yang mengeluarkannya makna
syukur kepada Allah SWT, pengakuan akan keutamaan dan kebaikanNya, karena
sesungguhnya Allah SWT sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ghazali, senantiasa
memberikan nikmat kepada hambaNya, baik yang berhubungan dengan diri maupun hartanya.
Ibadah
badaniah merupakan pembuktiannya rasa syukur terhadap segala nikmat badan dan
ibadah harta merupakan pembuktian rasa syukur terhadap nikmat harta. Alangkah
ruginya orang yang mengetahui adanya orang fakir yang sempit rizkinya, yang
sangat membutuhkan, kemudian orang itu tidak menundukkan nafsunya untuk
bersyukur kepada Allah dengan memberi kepada orang yang meminta dengan 2 ½ %
atau 10 % dari hartanya.[11]
Di
antara hal yang perlu difikirkan dan dirasakan secara mendalam oleh fikiran dan
perasaan kaum Muslimin, adalah bahwa zakat itu merupakan bandingan terhadap
nikmat, sehingga setiap nikmat itu mesti diikuti dengan zakat oleh manusia,
apakah nikmat itu bersifat materi atau ruhani. Masyhur di kalangan kaum
muslimin ucapan : “zakatilah kesihatanmu, zakatilah mata dan penglihatanmu,
zakatilah ilmumu, zakatilah keberhasilan anakmu dan seterusnya. Ini adalah
suatu pengarahan yang tepat dan indah. Diriwayatkan dalam sebuah hadits :
“segala sesuatu itu ada zakatnya”[12]
5.
Zakat
mengobati hati dari cinta dunia
Zakat
dari segi lain, merupakan suatu peringatan terhadap hati akan kewajibannya
kepada Tuhannya dan kepada akhirat serta merupakan obat, agar hati jangan
tenggelam kepada kecintaan dunia, sebagaimana dikemukakan oleh ar-Razi, dapat
memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akhirat.
Dengan adanya syariat memerintahkan pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian
harta dari tangannya, maka diharapkan pengeluaran itu dapat menahan kecintaan
yang berlebih-lebihan terhadap harta, menahan agar jiwa tidak dikuasainya dan
memberikan peringatan bahwa kebahagian hidup itu tidaklah akan tercapai denagn
penundukkan jiwa terhadap harta, akan tetapi justru kebahagiaan itu bisa
dicapai dengan menginfakkan harta, dalam rangka mencari ridha Allah. Maka
kewajiban zakat itu merupakan obat yang pantas dan tepat dalam rangka mengobati
hati agar tidak cinta dunia secara berlebih-lebihan.[13]
6.
Zakat
mengembangkan kekayaan batin
Diantara
tujuan pensucian jiwa yang dibuktikan oleh zakat, ialah tumbuh dan berkembangnya
kekayaan batin dan perasaan optimism. Sesungguhnya orang yang melakukan
kebaikan dan makruf serta menyerahkan yang timbul dari dirinya dan tangannya
untuk membangkitkan saudara seagama dan sesame manusia dan menegakkan hak Allah
pada orang itu, maka orang tersebut akan merasa besar, tegar dan luas jiwanya
serta merasakan jiwa orang yang diberinya seolah-olah berada dalam suatu
gerakan.
·
Tujuan
zakat dan dampaknya pada kehidupan masyarakat
1.
Zakat
dan tanggung jawab social
Pada
sasaran ini ada yang bersifat identitas social, seperti menolong orang yang
mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang lemah, seperti fakir, miskin,
orang yang berutang dan ibnu sabil. Zakat adalah salah satu bagian dari aturan
jaminan social dalam islam, dimana aturan jaminan social ini tidak kenal Barat,
kecuali dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jaminan pekerjaan, dengan
menolong kelompok orang yang lemah dan fakir.
2.
Zakat
dan segi ekonominya
Telah
diisyaratkan pada bagian yang lalu, bahwa zakat dilihat dari segi ekonomi
adalah merangsang si pemilik harta kepada amal perbuatan untuk mengganti apa
yang telah diambil dari mereka. Ini terutama jelas sekali pada zakat mata uang,
dimana islam melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan pengembangan.
Dalam hal ini ada ancaman Allah :
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa
mereka akan mendapat siksa yang pedih” (Quran surat At-Taubah :34)
Tentu
tidaklah cukup dengan sekedar ancaman yang berat ini, akan tetapi islam
mengumumkan perang dalam praktek terhadap usaha penumpukkan dan membuat garis
yang tegas dan bijaksana untuk mengeluarkan uang dari kas dan simpanan. Hal itu
tercermin ketika islam mewajibkan 2 ½ % dari kekayaan uang, apakah diusahakan
oleh pemiliknya atau tidak. Dengan demikian, maka zakat itu merupakan suatu
cambuk yang bisa mengiring untuk mengeluarkan uang agar diusahakan, diamalkan
dan dikembangkan sehingga tidak habis dimakan waktu.
3.
Zakat
dan tegaknya jiwa umat
Di
atas itu semua, bahwa zakat itu mempunyai sasaran-sasaran dan dampak-dampak
dalam menegakkan akhlak yang mulia yang diikuti dan dilaksanakan oleh umat
islam serta dalam memelihara ruh dan nilai yang ditegakkan oleh umat, diibangun
kesadarannya dan dibedakan dengan itu kepribadiannya.
E.
Titik
persamaan antara zakat dan pajak
Dari
kedua definisi, jelas bagi kita, bahwa di sana terdapat titik persamaan dan
titik perbedaan antara pajak dan zakat. Kami akan mulai dengan titik persamaan
tersebut.
a.
Unsur
paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga
terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, karena
keimanan dan keislamannya belum kuat, di sini pemerintah islam akan memaksanya,
bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka punya kekuatan.
b.
Bila
pajak harus disetorkan kepada lembaga kemasyarakatan (negara), pusat maupun
daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus
diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan yang disebut dalam Quran : amil
zakat (al amilin alaiha).
c.
Di
antara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak
menyerahkan pajaknya selaku anggita masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai
fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dalam
zakat. Pezakat tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku
anggota masyarakat islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan dan
solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong
warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan
dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi
kepentingan umat islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah
kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran
zakatnya.
d.
Apabila
pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan
politik di samping tujuan keuangan, amka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih
jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek yang disbeutkan tadi dan
aspek-aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi
dan masyarakat.
F.
Sistem Pajak dalam Islam
Jauh sebelum Islam datang, sistem
perpajakan telah lama dikenal oleh sejumlah umat manusia. Sejarah perpajakan
dimulai dariadanya orang-orang yang menganggap bahwa tanah atau bumi adalah
milik raja. Kepercayaan semacam ini telah lama berlaku sejak zaman dahulu kala.
Dalam kitab perpajanjian lama (Taurat) disebutkan prosedur masuknya bumi dalam
milik Fir’aun di Mesir. Dalam pasal 47 Kitab Kejadian diceritakan bahwa pada
saat terjadi kelaparan hebat, pendududk Mesir Menjual segala macam harta
bendanya, termasuk tanah bahkan dirinya kepada Fir’aun untuk mendapatkan
gandum. Tanah-tanah itu kemudian digarap kembali oleh pemiliknya dengan benih
Fir’aun kemudian sebagai imbalannya seperlima dari hasilnya dipersembahkan
kepada Fir’aun.
Abdul Khaliq al-Nawawi dalam bukunya
al-Nidham al-Malifi al-Isam menyebutkan bahwa Raja Ramsis II membaagi-bagikan
tanah Mesir kepada penduduk. Tiap-tiapanggota keluarga memperoleh sebidang
tanah dan sebagi gantinya atau imbalannya dikenakan kharaj atau pajak bumi.,
yang harus dibayarkan tiap-tiap tahun. Kharj ini sudah dikenal pada masa-masa
Raja Ptolemen, Bizantine/Bizantium, Rumawi dan Persia.
Ibnu Khaldun[14]
menyebutkan kata-kata Raja Anu Syirwan tentang pajak yang berbunyi : “Kerajaan
bertumpu pada angkatan bersenjata; angkatan bersenjata bersangga pada harta
benada; harta benda bertopang pada pajak; dan ditunjang oleh pembangunan”.[15] Tradisi
pajak ini rupanya terus berlanjut sampai zaman raja-raja Arab pra Islam.
Setelah Islam datang sistem pajak yang ternyata banyak manfaat dan maslahatnya
ini eksistensinya diakui, dibenarkan dan disempurnakan. Di dalam Islam ada
beberapa macam pajak di antaranya :
1.
Pajak harta kekayaan yang penetapan kewajibannya langsung Syari’ atau Allah
SWT, yaitu zakat. Halini hanya dikenakan kepada orang-orang Islam saja.
2.
Jizyah, yaitu pajak yang dikenakan kepada kafir Dzimmi, yaitu non muslim
yang hidup dinegara/ Pemerintahan Islam dengan mematuhi peraturan dan
perundang-undangan pemerintahan Islam. Sebagai imbalan dari perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah Islam kepada mereka mengenai jiwa, keselamatan,
kemerdekaan, dan hak-hak azasi mereka, maka mereka dikenakan jizyah atau pajak kepala. Dalam menghadapi negara/
wilayah non Islam ada tiga alternatif yang ditawarkan oleh Islam, yaitu masuk
Islam, membayar jizyah atau diperangi. Bagi yang mau masuk Islam maka mereka
aman, tidak diperangi dan tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang tidak
mau masuk Islam ada dua pilihan, yaitu membayar jizyah atau diperangi.
3.
Kharaj, yaitu pajak bumi, ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum
muslimin lewat peperangan yaitu kemudian dikembalikan dan digarap oleh
pemiliknya. Sebagai imbalannya maka pemiliknya menyerahkan pajak bumi dan
bangunan pemerintah Islam.
4.
‘Usyur, yaitu pajak perdagangan atau bea cukai ( pajak imporr dan
ekspor).
5.
Dlaribatuddam (pajak darah/nyawa), yaitu berupa jihad fisabilillah
(perang dalam rangka menegakkan agama Islam).
G.
Kewajiban Zakat dan Pajak
Baik zakat maupun pajak didalam Islam
kedua-duaanya hukumnya wajib dalam
rangka menghimpun dana yang diperlukan untuk kesejahteran dan kemaslahatan
umat. Bedanya dari segi penetapan hukumannya. Zakat penetapan hukumannya dari
aagama atau Syari’, lewat beberapa ayat Al-Qur’an dam Hadits Nabi. Sedangkan
pajak kewajibannya berdasarkan penetapan atau ijtihad[16]
Ulil Amri atau pemerintah. Penetapan pajak oleh pemerintah ini wajib dipatuhi
oleh rakyatnyasejqalan denhgan adanya perintah dari agama untuk taat dan patuh
kepada Ulil Amri aatau pemerintah. Allah SWT berfirman:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Atas dasar ini maka bagi warga negaara yang
beragama Islam daa dua kewajibqan (kewajiban ganda) dalam kaitannya dengan
harta atau kekayaan yang dimilikinya. Pertama, kewajiban zaakat dan kedua,
Kewajiban pajak.
Disinilah titik temu dan letak persamaan
serta perbedaan antara zajat dan pajak. Kedua-duanya sam-sama wajib. Bedanya
zakat kewajibannya berdasarkan nash Agama (ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits
Nabi). Sedangkan pajak kewajibannya berdasarkan ijtihad Ulil Amri, sejalan
dengan tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan.
Sisi lain persamaan ialah keduanya
sama-sama mempunyai nilai ibadah sosial sebagai realisasi Prinsip ta’awun atau
tolong menolong, kerjasama, gotong royong yang kalau dilandasi niat yang tulus
akan meendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah. Prinsip-prinsip tersebut
selain merupakan nilai-nilai Pancasila juga merupakan tuntutan dan ajaran Islam
atau nilai-nilai yang Islami.
Sisi lain mengenai perbedaan zakat dan
pajak adalah dari segi obyek dan sasarannya. Obyek dan sasaran zakat telah
ditentukan oleh agama berdasarkan Nash Al-Qur’an dengaan pengenbangan
berdasarkan ijtihad Fuqaha’.[17]
Sedangkan pajak sasarannya ditentukan oleh Ulil Amri yang pada prinsipnya
adalah sebagai penopang dana operasional progran-program pemerintah dan
pembangunan yang manfaatnya secara umum juga kembali kepada rakyat atau masyarakat.
H.
Islam Memberi Wewenang Ulil Amri atau Pemerintah untuk
Mengelola Zakat dan Pajak
Ulil Amri atau Pemerintah menurut pandangan
Islam bertanggung jawab terhadap kesejahteraaan rakyatnya. Dalam kaitan ini,
Islam memberi wewenang kepada Ulil Amri untuk mengatur, mengelola dan
mentasarrufkan zakat sesuai dengan tuntutan dan petunjuk-petunjuk Islam.
Demikian agar pensyaria’atan zakat yang antara lain dimaksud untuk membantu
mereka yang lemah yang memerlukan dan pemerataan kesejahteraan sosial itu benar-benar dapat direalisir. Untuk itu maka
BAZIS yang kini telah berjalaan perlu dibina, dikembangkan dan
ditingkatkanfungsi dan perannya. Hal ini menjadi kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah.
Kewenangan mengatur dan mengelola zakat
yang diberikan oleh Islam kepada Ulil Amri ini antara lain berdasarkanfirman
Allah :
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Maksudnya: zakat
itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada
harta benda. Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Kemudian dalam kaitannya dengan masalah
pajak maka berdasarkan uraian diatas, Islam memberikan hak dan kewenangan
kepada Ulil Amri untuk mengaturnya pula. Hal ini tentu disesuaikan dengan
kondisi dan situasi, kebutuhan dan kemasahatan. Dalam kondisi negara telah kuat
dananya, di mana tidak memerlukan lagi iuran dari rakyatnya, maka bagi
pemerintah hukumnya mubah untuk menerapkan dan menarik pajak atau
meniadakannya. Sebaliknya dalam kondisi di mana roda pemerintahan tidak mungkin
jalan dan program pembangunan tidak bisa dilakukan kecuali apabila ditunjang
dengan dana dan iuran dari rakyat maka hukum mengadakan dan menarik pajak bagi
pemerintah bisamenjadi wajib.
I.
Pemerintah R.I Menurut Pandangan Ilmu Fiqih
1.
Menurut kajian Fiqih Siasah, pemerintahan atau negara atau wilayah
terbagi menjadi dua, yaitu Darul Islam (pemerintah atau negara atau wilayah
Islam) dan Darul Harbi (Pemerintahan atau negara atau wilayah non Islam).
Pemerintah atau negara atau wilayah Islam ialah pemerintahan/negara/wilayah
yang penduduknya mayoritas beragama Islam, atau minoritas Islam akan tetapi
umat Islam dilindungi oleh pemerintah dan dijamin untuk mengamalkan ajaran
agamanya, mengembangkan dan menyebarluaskannya. Pemerintahan atau negara atau wilayah
yang umat Islamnaya minorotas atau mayoritas akan tetapi pemerintah tidak
melindungi hak-haknya dan tidak memberi kebebasan untuk mengamalkan ajaran
agamanya dan mengembangkannya.
2.
Suatu perundang-undanganatau peraturan dapat dinilai sebagai islami
apabila
dalam proses penyusunan dan pembuatannya serta isinya
memenuhi kriteria prinsip-prinsip umum hukum Islam sebagai berikut :
a.
Musyawarah (dibicarakan bersama untuk mengambil kesepakatan)
b.
Raf’il Haraj (tidak memberatkan atau mempersulit)
c.
Mashalih Mursalah (memenuhi hajat atau kepentingan umum)
d.
Tahqiqul ‘Adaalah (menjamin terwujudnya keadlian)
3. Perundang-undangan
atau peraturan yang sanggup mengantarkan umat manusia kearah kemaslahatan dan
menjauhkannya dari mafsadah atau kerusakan dapat dianggap sebagai
perundang-undangan atau peraturan yang Islami sekalipun hal itu tidak
ditunjakkan oleh satupun ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi:.
Di Indonesia mayoritas penduduuknya adalah
beragama Islam. Mereka bukan saja dilindungi hak-haknya, tetapi juga dijamin
berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, mengembangkan dan
menyebarluaskannya (ingat pasal 29 UUD 1945). Bahkan lebih dari itu pemerintah
malah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan, dan menyemarakkan
syi’ar Islam. Demikian juga para pejabatnya sejak dari Presiden, Wakil
Presiden, para Menteri, Gubernur dan lain-lain mayoritas adallah beragama
Islam. Atas dasar ini maka apabila dilihat dari konsepsi dan teori pertama di
atas maka tidak diragukan lagi bahwa negara Republik Indonesia termasuk
kategori Darul Islam ( Pemerintahan/negara/wilayah Islam).
Atas dasar itu maka terjawabkaah
pertanyaan-pertanyaan di atas. Pemerintah Indonesia yang berdasrkan Pancasila
dan UUD 1945 adalah termasuk Ulil Amri yang wajib ditaati ole setiap muslim.
Pemerintah Indonesia diberi hak untuk mengatur dan meengelola masalah zakat
untuk kesejahteraan umat dan kepadanya pula diberi hak untuk menetapkan
undang-undang atau peraturan perpajakan yang wajib di patuhi oleh setiab warga
negara yang beraga Islam.
Dari sini sekali lagi seperti telah
disinggung diatas warga negara Indonesia yang beragama Islam menpunyai
kewajiban ganda terhadap harta bendaa miliknya, yakni kewajiban zakat dan
kewajiban pajak. Disinilah sebenernya nampak bagi kita betapa besar andil dan
partisipasi umat Islam Indonesia dalam menyukseskan pfrogran-program pemerintah
dan pembangunan.
Demikianlah apabila kita memandang dan
mengkaji eksistensi pemerintah RI inilewat Fiqih Siasah. Akan tetapi kalau kita
memandangnya dari sisi falsafah dan UUD-nya maka pemerintah Indonesia adalah
negara nasional yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila atau lazim disebut
negara Pancasila.
Kedudukan Pemerintahan Ri sepanjang kajian
hukum Islam dalam hal ini FiqihSiaasah perlu dimantapkan. Demikian agar umat
Islam Dapat mendudukkandirinyasecara tepat daalam ikut mengisi kemerdekaandamn
mensyukseskan pembangunan yang antara lain menunjang suksesnya kewajiban
pajak.
BAB III
METODOLOGY
Makalah ini menggunakan pendekatan teoritis.
Pendekatan teoritis merupakan pendekatan yang menekankan pada unsur teori.
Tidak hanya pendekatan teoritis tetapi juga menggunakan metode penelitian
berdasarkan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif adalah pendekatan
yang menggunakan data kualitatif (data yang berbentuk data, kalimat, skema, dan
gambar) dan suatu pendekatan yang ditujukan
untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas social,
sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan utama, yaitu pertama,
menggambarkan dan mengungkap (to describe and explore) dan keduan menggambarkan
dan menjelaskan (to describe and explain).
Kebanyakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan
eksplanatori. Suatu pendekatan kualitatif dieksplorasi
dan diperdalam dari suatu fenomena social atau suatu lingkungan social yang
terdiri atas pelaku, kejadian, tempat, dan waktu. Fenomena yang diangkat dalam
penelitian kualitatif menjadi bahan baru dan hasil penelitiannya memiliki
kontribusi terhadap teori.[18] Penelitian
ini bertujuan untuk menjawab “Bagaimana kolaborasi antara zakat dan pajak
sebagai sumber dana bagi bangsa dan negara ?” Jika dikaitkan dengan definisi
penelitian kualitatif sebagai penelitian yang mengeksplorasikan dan
memperdalam, maka kata “bagaimana” sangat tepat untuk memberikan penjelasan
atas fenomena yang diteliti.
Jenis penelitian kualitatif yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu inkuiri
empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana
batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana
multisumber dimanfaatkan.[19]
Jenis penelitian kualitatif studi kasus ini memungkinkan agar peneliti
mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang sangat khusus.
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Dari pembahasan yang telah di bahas, dapat ditemukan
adanya hubungan harmonisasi antara zakat dan pajak, terdapat
titik persamaan antara pajak dan zakat yaitu :
a.
Unsur
paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga
terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, karena
keimanan dan keislamannya belum kuat, di sini pemerintah islam akan memaksanya,
bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka punya kekuatan.
b.
Bila
pajak harus disetorkan kepada lembaga kemasyarakatan (negara), pusat maupun
daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus
diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan yang disebut dalam Quran : amil
zakat (al amilin alaiha).
c.
Di
antara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak
menyerahkan pajaknya selaku anggita masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai
fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dalam
zakat. Pezakat tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku
anggota masyarakat islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan dan
solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong
warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan
dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi
kepentingan umat islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah
kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran
zakatnya.
d.
Apabila
pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan
politik di samping tujuan keuangan, amka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih
jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek yang disbeutkan tadi dan
aspek-aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi
dan masyarakat.
Dari beberapa uraian, dapat diketahu efek-efek zakat
baik langsung maupun tidak langsung diantaranya yaitu :
Efek langsung
·
Ketika delapan (8) asnaf yang berhak mendapat zakat menerima zakat maka
mereka akan langsung membelanjakan uangnya untuk mengkonsumsi barang sehingga
hal ini memicu peningkatan pada MPC (keinginan untuk mengkonsumsi). Misalnya :
Awalnya makan ubi menjadi makan beras.
Efek Tidak Langsung
·
Ketika ada salah satu dari delapan asnaf yang tidak langsung
membelanjakan uangnya seperti Amil. Uang zakat yang diterima tersebut akan
diproduksi atau di distribusikan untuk membuka usaha dan lain-lain sehingga
dapat membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang belum mendapat
pekerjaan.
·
Jika Zakat dimisalkan sebagai vaiabel Z dan variable tersebut ditambah
pada perhitungan pendapatan nasional (GNP) maka GNP = Y + C + I + G + (X-M)
secara otomatis akan meningkat.
Misalnya, pertumbuhan negara 6 % ketika ditambahkan variable zakat ke
dalam perhitungan pendapatan nasional maka akan bisa meningkatkan menjadi 6,5-7
%. Hal ini akan menimbulkan adanya multiplier effect (efek berganda)
pada pendapatan nasional suatu negara (GNP).
Jadi kolaborasi pajak dan zakat sangat
berperan penting dalam pembangunan ekonomi baik masyarakat maupun negara. Zakat
bisa menjadi salah satu alternative untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
pajak bisa menjadi salah satu alternative dalam peningkatan pembangunan
nasional. Dirasakan adanya tuntutan publik untuk mengharmoniskan hubungan
pajak dan zakat demi kesejahteraan rakyat. Sungguh sangat dapat difahami
tuntutan publik untuk mendialogkan relasi antara pajak dan zakat serta
peranannya dalam kesejahteraan masyarakat. Sebab keduanya memiliki kemiripan
dalam objek penarikan, yaitu kekayaan atau penghasilan. Penarikan ganda -oleh
pajak dan juga oleh zakat- pada dunia usaha akan dirasakan sebagai sebuah
gangguan. Pada tataran eksistensi dan akomodasi, relasi zakat dan pajak relatif
telah menimbulkan rasa puas. Setidaknya pembayaran zakat dapat mengurangi
penghasilan kena pajak.
Untuk memudahkan harmonisasi ini, maka perlu di buat Undang-Undang
tentang Zakat (bukan sebatas pengelolaan zakat saja, tapi tentang zakat itu
sendiri) dan memasukkan zakat sebagai komponen kredit pajak dalam UU No. 36
tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, juga dilakukan penerimaan zakat yang
terpusat secara nasional ke Baznas. Penerimaan zakat yang terpusat akan
memudahkan pengawasan oleh pemerintah dan rekonsiliasi pembayaran zakat oleh
Direktorat Jenderal Pajak ketika zakat diakui sebagai kredit pajak. Hal ini
bukan meniadakan peranan amil zakat yang tersebar di seluruh Indonesia, yang
dipusatkan hanya penerimaan saja, ketika zakat didistribusikan tetap melibatkan
amil-amil zakat yang lain.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam uraian paper ini, dapat disimpulkan beberapa
pernyataan bahwa baik zakat maupun pajak hukumnya sama-sama wajib, perbedaan
kewajiban zakat berdasarkan Nash Agama. Sedangkan kewajiban pajak berdasarkan Ijtihad
Ulil Amri atau pemerintah atau penguasa. Warga Indonesia yang beragama
Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah
agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada
Ulil Amri atau pemerintah yang juga diwajibkan oleh agama.
Hubungan antara zakat dan pajak adalah erat sekali.
Kedua-duanya merupakan sumber dana kemsyarakatan meskipun penggunaan zakat
lebih terbatas pada kemasyarakatan dalam lingkungan ukhuwah Imaniyah.
Dalam lingkungan Imaniyah, zakat dimanfaatkan untuk pengamanan dan jaminan
social, bantuan bagi musafir, santunan bagi yang tidak mampu, biaya pendidikan,
latihan keterampilan, berkeluarga, bantuan karena bencana alam, modal koperasi,
fakir miskin, modal simpan pinjam tanpa bunga dan lain-lain dalam batas yang
tidak bertentangan dengan ketentuan delapan sanaf yang berhak menerima zakat.
Pajak tidak dapat mengganti zakat. Oleh karena itu,
nisab zakat diperhitungkan dari total penghasilan bersih. Setelah dipotong
biaya yang wajib dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan itu seperti pajak dan
ongkos-ongkos, disamping kebutuhan pokok yang bersangkutan dan orang-orang yang
wajib di tanggung nafkahnya. Sedangkan potongan yang nantinya kembali padanya,
seperti tabungan pension, asuransi jiwa, kredit mobil dan lain-lain harus
dimasukkan ke dalam jumlah nisab.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan yang harus di perbaiki. Oleh karena itu, kami
memohon kepada seluruh pembaca supaya bisa memberikan saran yang sifatnya
membangun untuk kemajuan makalah ini kepada kami. Atas perhatiannya, kami
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al Buny, Djamal’uddin.1983.Problematika Harta dan Zakat.
Surabaya : Bina Ilmu
Wiwoho B, dkk.1991.Zakat dan Pajak. Jakarta : Bina Rena Pariwara
Proyek Pembinaan zakat dan wakaf.1986.Pedoman Zakat. Jakarta : PT
Cemara Indah
Qardawi, Yusuf. 2004. Hukum Zakat.Jakarta : Litera AntarNusa
[6] “HR.
Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1459, katanya: shahih. Al Baihaqi dalam As
Sunan Al Kubra No. 7242 , Ad Daruquthni No. 15
[12] Hadits riwayat Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, Tabrani dari Sahl bin Said. Imam Sayuthi memberikan rumus pada hadis
ini dengan rumus dhaif. Imam Mundziri mengisyaratkan kedhaifan hadits ini dalam
at-Targhib.