RSS

Jumat, 19 Desember 2014

Konsumsi dalam Islam



Makroekonomi
Konsumsi dalam Islam
Kelompok 3A
Disusun Oleh         :

1.    Ririn Nopiah                    (20130430351)
2.    Annisa  Rahmawati R       (20130430      )
3.    Fitri Rofy N                     (20130430      )
4.    Eni Rahmawati                 (20130430      )


Fakultas Ekonomi
Ekonomi Keuangan dan Perbankan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2013-2014


Kata pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat ,taufik serta hidayahnya.
Shalawat serta salam, kami haturkan kepada jungjungan nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang seperti yang telah kita rasakan pada saat ini serta iman dan islam, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makroekonomi “Konsumsi dalam Islam ”
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam menulis, menyampaikan kepustakaan yang sekiranya perlu perbaikan dan saran dari pembaca ataupun pembimbing. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini yang datang baik dari pembaca ataupun dosen pembimbing.
Demikian kata pengantar dari kami sebagai penulis, semoga makalah ini bermanfaat dan makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya, semoga kita semua mendapatkan faedah dan penerangan hati dalam setiap menuntut ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan akhirat, terimakasih atas perhatiannya.



Yogyakarta, 24 September 2014


Penulis




Teori Konsumsi (Konsumsi dalam Islam)
Dilihat dari arti ekonomi, konsumsi merupakan tindakan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna ekonomi suatu benda. Sedangkan menurut Draham Bannoch dalam bukunya economics memberikan pengertian tentang konsumsi yaitu merupakan pengeluaran total untuk memperoleh barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (dalam satu tahun) pengeluaran.
Konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu  Consumption. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi.[1] Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan  di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan  disposabel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan:
C = a + bY  .............. dimana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0, b adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan nasional.
1.1              Prinsip Konsumsi dalam Islam
Bila dikatakan kepada mereka,”Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu,”orang-orang kafir itu berkata,”Apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.” (Q.S 36 : 27)
Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar :
A.                   Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak diarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yag telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah (Q.S AL-Baqarah, 2 :173)

B.                   Prinsip Kebersihan
Syarat kedua ini tercantum dalamkitab suci Al-Qur’an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.

C.                   Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebihan.
Dalam Al-Qur’an dikatakan :
“...... Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang berlebih-lebihan” (Q.S, Al-A;raaf 7:31)
Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwadan tubuh,demikian pulabila perut diisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam islam.

D.                   Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati perintah islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halalyang disediakan Allah karena kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dankesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Allah dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya (Q.S Al Maidah 5:96).

E.                    Prinsip Moralitas
Tujuan lain yaitu untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual.seorang muslin diajarkan untuk menyebut nama-nama Allah sebeum makan dan menyatakan terimakasih-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Illahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan dalam dirinya. Hal ini penting artinya karena islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.


1.2              Teori Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Menurut Kahf (1995), Chapra (2002;309),konsumsi agregat merupakan salah satu variabel kunci dalam ilmu ekonomi konvensional. Konsumsi agregat terdiri dari konsumsi barang kebutuhan dasar (Cn) serta konsumsi barang mewah (C1). Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan kenyamanan) dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat didefinisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen.
Lebih lanjut Chapra (2002;309) mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki porsi barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda ( C = Cn + C1 ) dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin sedikit suumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan demikian, meski terjadi peningkatan pada konsumsi agregat, ada kemugkinan bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan dasar penduduk miskin (Cn), jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang mewah (C1).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agrega ini (Cn dan C1). Yang lebih banyak dibicarakan dalam ilmu makroekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh dari tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang subsstansial dalam menentukan konsumsi bagregat (C), ada sejumlah faktor moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang memengaruhi pengalokasiannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn dan C1). Dengan demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi pendapatan dan kekayaan, perkembangan sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tentunya tak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom Muslim diantaranya  adalah Zarqa (1980 dan 1982), Monzer Kahf (1978 dan 1980), M.M Metwally (1981), Fahim Khan (1988), M.A Manan (1986), M.A Choudhury (1986), Munawar Iqbal (1986), Bnedjilali dan Al-Zamil (1993) dan Ausaf Ahmad(1992) telah berusaha memformulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan faktr-faktor tambahan ini meski tidak seluruhnya. Mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup untuk mengurangi konsumsi barang mewah (C1) yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Diperlukan cara untuk mengubah sikap, selera dan preferensi, memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang memandang buruk konsumsi seperti itu (C1). Disamping itu perlu pula menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna meningkatkan daya beli atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn). Hal inilah yang coba dipenuhi oleh paradigma religius, khususnya islam, dengan menekankan perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan kelembagaan (dalam Chapra, 2002;310)
Norma konsumsi Islam mungkin dapat membantu memberikan orientasi preferensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah (C1) dan bersama dengan jaring pengaman sosial, zakat serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn). Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn).
1.3              Fungsi Konsumsi Agregat
Asumsi-asumsi yang dapat diangkat menurut Susamto(2002) :
1. Zakat dikenakan atas semuaharta perniagaan dan investasi yang dimiliki kaum muslimin, baik individumaupun badan usaha.
2. Pembayar zakat perniagaan cukup besar dan menguasai satu bagian tertentu dari pendapatan nasional
3. Gerakan dakwah dan penyadaran zakat berhasi baik, sehingga setiap muslim yang wajib berzakat (muzakki) bersedia membayar zakat.
4. Proporsi zakat yang dibayarkan trsebut tetap, dengan jumlah tertentu dari pendapatan nasional
5. Zakat yang terkumpul dibagikan kembali kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq)
6. Mustahiq yang menerima zakat mempunyai kecendrungan mengonsumsi marginal (MPC) yang lebih tinggi secara signifikan dibanding muzakki
7. Zakat pendapatan dapat dihitung sebagai komponen pengurangan penghasilan kena pajak dan zakat yang diterima mustahiq tidak wajib dikenai pajak.
Jika C adalah tingkat konsumsi agregat, a adalah konsumsi otonom pada pendapatan sama dengan nol, b adalah kecenderungan mengonsumsi MPC dan Y adalah pendapatan nasional, maka persamaan fungsi tersebut adalah :
C1 = a + bYd; Yd  = (bY - aY)              (muzakki)
C2 = dY ; Z = aY                                 (mustahiq)
     = d [(1-b)Y +aY]
C  = C1 +C2
C  = a +b (bY -aY) + d[(1 - b)Y +aY]
Dimana a adalah besarnya zakat yang dibayarkan.

1.4              Hipotesis Pendapatan Mutlak
Pengaruh zakat terhadap pengeluaran pribadi akan dianalisis dengan fungsi konsumsi linier dan non-linier. Jika diansumsikan Y sebagai pendapatan bersih, C sebagai pengeluaran konsumsi dan t sebagai waktu , akan diperoleh hubungan sesuai dengan hipotesis ini , yaitu :
0<  < 1
Keynes membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi  ekonominya, dan teori itu telah memainkan peran penting dalam analisis makroekonomi sampai saat ini. Menurut Mankiw , dugan keynes tentang fungsi konsumsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Kecenderungan mengonsumsi marginal (marginal propensity to consume) adalah antara nol dan satu.
b.        Rasio konsumsi terhadap pendapatan atau kecenderungan mengonsumsi marginal (average propensity to consume), turun ketika pendapatan naik.
c.         Pendapatan merupakan determinana konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran yang penting.
Berdasarkan tiga dugaan tersebut, fungsi konsumsi dapat dibagi kedalam fungsi  konsumsi linier dan non-linier.



l  Fungsi Konsumsi Linier
a.         Fungsi konsumsi Linier Konvensional (Metwally ,1995;49-53) Katakanlah fungsi konsumsi untuk ekonomi non islam (tidak ada zakat dan tidak ada tindakanfiskal yang sama dengan itu, maka Z=0) adalah sebagai berikut:
C = a+ bY
Dimana :
C = konsumsi; Y =Pendapatan
a dan b adalah konstan untuk a > 0; 0 < b < 1
b.        Fungsi konsumsi Linier dalam Ekonomi Islam
Menurut Metwally fungsi konsumsi dalam ekonomi islam, untuk menyederhanakan masalah, dianggap besarnya zakat ditunjukkan oleh fungsi:
Z = α Y
Dimana :
0 < α < 1
Katakanlah bY merupakan pendapatan pembayaran zakat yang menguasai satu bagian tertentu dari pendapatan nasional; dan sisanya (1-β)Y adalah pendapatan penerima zakat , dimana 0 < β < 1 .
Dimisalakan juga sebagai hasrat konsumsi marginal penerima zakat, dimana : 0 < β < δ < 1

l  Fungsi  Konsumsi Non-Linier
a.        Fungsi Konsumsi Non-Linier dalam ekonomi Konvensional
Fungsi  konsumsi Non-Linier yang lebih realistis dengan persyaratan asumsi sebagai berikut:
i) untuk Y = 0 ; C = 0
ii)  > 0 tetapi () < 0
iii) > 0 tetapi           () < 0
Dengan kata lain , tingakat  konsumsi otonom/ outonomus (positif) dan hasrrat konsumsi rata-rata dan hasrat konsumsi marginal adalah positif, tetapi menurun dengan meningkatkan pendapatan.
Implikasinya :   0 <  () < ()

b.        Fungsi Konsumsi Non-Linier dalam Ekonomi Islam
Dalam Ekonomi Islam diperoleh persamaan :



= g ( 1 - α - β) [δ(δ-1)Yδ-2- b(b-1) Yb-2) > 0
Siddiqi (1988) dan Kahf (dalam khurshid ahmad) menyebutkan bahwa dengan adanya zakat maka hasrat konsumsi rata-rata dan hasrat konsumsi marginal dalam jangka pendek akan menurun. Akan tetapi penurunan ini lebih kecil di Ekonomi Islam dibandingkan dengan ekonomi Non-Islam yang tidaka punya tindakan fiskal yang sama, tetapi dalam jangka panjang tingkat konsumsi masyarakat kan mengalami peningkatan karena:
1.    Taraf hidup masyarakatpenerima zakat akan meningkat. Penurunan konsumsi tersebut disebabkan oleh permintaan akan barang-barang mewah yang menurun.
2.    Permintaan akan barang -barang pokok dari masyarakat tersebut akan meningkat seiring meningkatnya taraf hidup masyarakat yang menerima zakat. Namun, ajaran Islam tidak menganjurkan konsumsi boros, dan barang mewah, dan ingat tentang hari kemudian (aakhirat). Ajaran Islam dalam batas-batas tertentu dapar mengimbangi efek zakat terhadap konsumsi.

1.5              Fungsi Konsumsi Intertemporal
Konsumsi intertemporal (dua periode) adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu yaitu masa sekarang (periode pertama) dan  masa yang akan datang (periode kedua). Dalam konsep Islam, konsumsi intertemporal dijelaskan oleh hadis Rasulullah s.a.w yang maknanya adalah “yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”. Oleh karena itu persamaan pendapatan menjadi:
Y = (C+Infak) + S
Persamaan ini disederhanakan menjadi:
Y = FS + S
            FS adalah final spending (konsumsi akhir) di jalan Allah.
Dalam Ekonomi Islam tidak berlaku sistem bunga, sehingga bunga yang dibayarkan kepada penabung adalah nol dan digantikan dengan sistem bagi hasil. Selain itu dalam ekonomi Islam jika z adalah besarnya total zakat, maka persamaannya bagi orang yang membayar zakat menjadi:

Di mana : y  = pendapatan total
                  rr = tingkat bagi hasil (mudharabah)
                   z  = besarnya zakat 2,5%
                    t = tingkat pajak
sedangkan bagi orang yang mendapatkan bantuan zakat persamaannya menjadi:
ct  = = yt + yt+1 + zt +
hal ini terjadi karena pendapatan kaum miskin yang tadinya hanya sebesar;
                                       ct +,ct+1 = yt + yt+1
jika mereka memiliki pendapatan yang kecil maka akan ditambah dengan zakat yang sebesar z1 +  , dan jika penduduk miskin tidak memiliki penghasilan sebelumnya maka konsumsinya sebesar bagian zakatnya atau sebesar;
                                       ct + ct+1 = zt +
1.6              Hipotesis Pendapatan Relatif
            Metwally mengatakan menurut hipotesis pendapatan relatif konsumsi sekarang tidak saja ditentukan sebagai fungsi pendapatan siap konsumsi sekarang, tapi juga pendapatan sebelumnya.
            Menurut hipotesis ini, konsumsi rata-rata dan konsumsi marginal adalah konstan. Keduanya tetap sama meskipun pendapatan naik ke tingkat pendaptan puncak. Jika pendapatan sekarang lebih kecil dari pendapatan puncak, maka hasrat konsumsi marginal akan lebih kecil dari hasrat konsumsi rata-rata. Akan tetapi hasrat konsumsi rata-rata akan meningkat jika pendapatan sekarang meningkat.
            Penerima zakat dan sedekah akan mengeluarkan seluruh pendapatan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pembayar zakat dan sedekah mungkin sekarang dapat menabung sebagian pendapatan atau membeli barang dan jasa guna mengimnbangi pengeluarannya (Metwally).
            Oleh karena itu, zakat dan sedekah akan mengurangi konsumsi, menguraangi ketidakmerataan. Sebab itu, jika konsumsi menurut hipotesis pendapatan relatif berlaku dalam ekonomi Islam, maka zakat dan sedekah dapat meningkatkan jumlah tabungan yang dapat diarahkan untuk investasi.
1.7              Franco Modigliani dan Hipotesis Daur Hidup
Modigliani berpendapat bahwa pendapatan bervariasi secara sistematis selama kehidupan seseorang dan tabungan membuat konsumen dapat menggerakkan pendapatan dari masa hidupnya ketika pendapatan tinggi ke masa hidup ketika pendapatan rendah.
            Metwally berpendapat sesuai dengan hipotesis siklus hidup/daur hidup, konsumsi tidak saja bergantung pada pendapatan rumah tangga pada saat ini, tapi juga pada kekayaan dan pendapatan yang diharapkan di masa mendatang. Konsumen akan mendistribusikan sumber daya yang ada untuk mengatur konsumsi selama hidupnya, karena itu konsumsi harus dihubungkan dengan kehidupan individu dan tidak untuk satu periode saja.
Sebuah fungsi konsumsi:
Ct= aWt-1 + bYt =cYt
di mana: W sebagai jumlah kekayaan, dan Ye sebagai nilai sekarang pendapatan yang akan datang. Hipotesis ini menganjurkan untuk menggunakan pendapatan sekarang sebagai pengganti Ye, dan karena itu fungsi konsumsi menjadi:
Ct= aWt-1 + a2 Yt
Hipotesis ini, menunjukkan bahwa redistribusi pendapatan menguntungkan kelompok miskin dan kelompok yang memerlukan, namun tidak berpengaruh besar pada pengeluaran konsumsi agregat.

1.8              Milton Friedman dan Hipotesis Pendapatan Permanen
              Friedman menawarkan hipotesis pendapatan-permanen untuk menjelaskan perilaku konsumsi. Hipotesis pendapatan-permanen menekankan bahwa manusia mengalami perubahan acak dan temporer dalam pendapatan mereka dari tahun ke tahun.
              Pendapatan permanen adalah pendapatan yang diharapkan diperoleh selama jangka waktu lama, tetapi pendapatan tidak kekal/tetap, menambah atau mengurangi pendapatan permanennya. Biasanya rata-rata pendapatan tidak kekal dalam jangka panjang positif dalam periode tertentu atau bahkan negatif dalam periode yang lain. Pendapatan tidak kekal ini tidak besar pengaruhnya pada konsumsi.
              Menurut Metwally, pendapatan permanen dapat didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang pendapatan sekarang dan pendapatan yang lalu. Hasrat konsumsi dalam jangka pendek (cG0) akan lebih kecil dari hasrat konsumsi marginal jangka panjang, atau:
                                                                    c > cG0
                   Menurut pendekatan ini, redistribusi pendapatan akan menguntungkan kelompok miskin dan kelompok yang memerlukan, dan tidak memengaruhi pengeluaran agregat, kalau redistribusi tersebut memengaruhi konsumsi dan pendapatan permanen, dan bukan konsumsi dan pendapatan tidak kekal.
            Dalam ekonomi Islam, besarnya zakat adalah tetap, tidak seperti pajak. Jadi pengeluaran tersebut atas pertimbangan agama, dan karena Allah. Konsumsi permanen tidak akan berpengaruh terhadap redistribusi pendapatan di suatu negara Islam.
1.9              Konsumsi Agregat dalam Ekonomi Islam
Dalam Ekonomi Islam perekonomian secara makro terdiri atas dua karakteristikyang berbeda, yaitu muzzaki dan mustahiq .
C = C1+ C2
C = a + b ( βY-αY) + δ[(1-β)Y + αY]
Dimana β adalah besarnya zakat yang dibayarkan.
Dalam persamaan diatas belum memperhitungkan adanya pajak yang harus dibayarkan oleh muzzaki , sedangakan mustahiq tidak berkewajiban membayar pajak. Oleh karna itu, untuk memudahkan pemahaman, dianggap βY merupakan pendapatan pembayaran zakat yang menguasai satu bagian tertentu dari pendapatan nasional ; dan sisanya (1-β) Y adalah pendapatan penerimaan zakat. Jika transfer pemerintah atau Tr dianggap nol, dan pajak (Tx=tY). Kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (APC) adalah tingkat konsumsi dibagi pendapatan nasional, dan kecenderungan mengkonsumsi.
Zakat perniagaan, di satu sisi akan mengurangi penghasilan kena pajak muzzaki, dan di sisi lain tidak termasuk objek pajak yang wajib bagi mustahiq.  Kecenderungan mengonsumsi rata-rata (APC) adalah tingkat konsumsi dibagi pendapatan nasional, dan kcenderungan mengonsumsi marjinal (MPC) adalah turunan pertama dari tingkat konsumsi.


Proses penentuan pendapatan didalam suatu ekonomi Islam dapat juga diuji dengan bantuan suatau diagram. Diansumsikan kondisi ekonomi berada pada perkonomian tertutup, pengeluaran agregat (konsumsi) diukur pada garis yang vertikal dan pendapatan agregat sepanjang garis horisontal di dalam gambar (1). Garis 45  menunjukkan suatu fungsi penawaran agregat yang memiliki pengertian bahwa konsumsi dan pendapatan selalu sama sepanjang garis ini. Garis C  adalah fungsi konsumsi. Slope atau kemiringan dari garis ini menunjukkan kecenderungan marginal untuk mengkonsumsi. Garis C + 1 menunjukkan  pengeluaran agregat yang terdiri dari pengeluaran untuk konsumsi dan investasi .
Jarak yang vertikal antara garis C dan C + 1 mmberi jumlah investasi yang mana adalah sama dengan tingkatan pendapatan sebab semua investasi diamsumsikan otonomi. Slope C + 1 sama persis halnya slope garis C dan bahwa mengapa garis C + 1 sama persis halnyaslope garis C dan bahwa mengapa garis C + 1 persisnya pararel dengan garis C . ( Ausaf Ahmad , 1987)
Keseimbangan terjadi pada perpotongan antara garis C1 + C2 + I dengan garis penawaran agregat (450). Pada gambar 1 ditunjukkan pada tingkat pendapatan sebesar Y.
1.10          Konsumsi Agregat pada Perekonomian Dua Sektor
Dalam perekonomian tertutup dua sektor, dimisalkan diketahui ;
Y = Total Pendapatan Nasional
C = Pengeuaran konsumsi pada seluruh masyarakat
Z = Pengeluaran untuk zakat
E = Pengeluaran amal ibadah lain seperti infaq, dan shadaqah
I = Pengeluaran untuk investasi
Diasumsikan investasi tetap I = I0 dan pemerintah tidak ikut campur dalam perekonomian, hanya ada pengeluaran zakat, infaq dan shadaqah, maka :
Y = C + I
C = C1 + C2
C1 = a + b (Y - Z - E)
Berdasarkan asumsi ini, fungsi konsumsi penerima zakat adalah :
Y =  (a +I0)
Dimana :
z = tingkat marginal dan rata-rata beban zakat
Y = pendapatan
g = kecenderungan pembayaran infaq dan shadaqah

1.11          Fungsi Pajak dan Subsidi
Pajak (Tx)dan subsidi (Tr) memengaruhi pengeluaran konsumsi dan tabungan. Di dalam periode Islam Klasik, penerimaan utama berasa dari unsur-unsur sebagai berikut :
1. Zakat
Sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan negara islam pada periode klasik serta di negara-negara islam pada umumnya adalah zakat yang nota bene merupakan salah satu rukun islam. Zakat berpengaruh besar terhadap berbagai sifat dan cara pemilikan harta benda ( atau kekayaan). Harta benda tersebut dikenakan zakat jika telah melampaui nilai minimum yang sering disebut nishab berdasarkan cara dan kriteria perhitungan yang berbeda, tergnatung harta benda yang dizakatinya.
Zakat dalam berbagai fungsinya membangun pajak kekayaan negara, karena mendayakagunakan semua bentuk kekayaan yang ada. Tidak seperti halnya dalam pajak modern, pengaturan pengumpulan zakat begitu sederhana dan tidak memerlukan pengetahuan khusus. Berkaitan dengan tata cara pengumpulan zakat ini, terhadap hal penting yang perlu di garis bawahi, yakni perbedaan antara zakat kekayaan yang tampak dan yang tidak tampak (kelihatan).
Pelaksanaan pemungutan zakat secara semestinya, secara ekonomi menghapus tingkat perbedaan kekayaan yang mencolok, serta sebaliknya dapat menciptakan redistribusi pendapatan yang merata, dismaping pula membantu mengekang laju inflasi. Selain perkembangan tak menentu dari peredaran mata uang di dalam negeri, kekurangan barang dan kecepatan  peredaran uang.
2. Jizyah
Sumber penerimaan lain adalah jizyah atau pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim, sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh suatu negara islam pada mereka guna melindungi kehidupannya misalnya harta benda, ibadah keagamaan dan untuk pembebasan dari dinas militer.
3. Kharaj atau Pajak Bumi
Kharaj adalah sejenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim, atau yang tidak beriman. Cara pungutan kharaj dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
Kharaj menurut perbandingan dan kharaj tetap.
Kharaj menurut perbandingan ditetapkan porsi hasil seperti setengan atau sepertiga hasil itu. Sebaliknya kharaj tetap adalah beban khusus pada tanah sebanyak hasil alam atau uang per satuan lahan. Kaharaj menurut perbandingan pada umumnya dipungut pada setiap kali panen, sedangkan kharaj tetap menjadi wajib setelah lampau satu tahun.
4. Ushoor atau Barang Rampasan Perang
Barang rampasan perang merupakan salah satu sumber pendapatan negara islam yang berkurang. Islam menbatasi tuntuan tentara penakluk pada empat per lima dari seluruh hasil dengan menahan seperlima bagian rampasan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an :
“ ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperima untuk Allah, Rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir” (Q.S an Anfal 8:41)
5. Pajak atas Pertambangandan Harta Karun
Negara memiliki hak untuk mengekploitasi sumber tambang atau mineral untuk kesejahteraan masyarakat. Namun nasionalisasi juga tidak sepenuhnya dibenarkan, oleh karena itu negara islam harus membuat ketentuan untuk pembayaran ganti rugi yang wajar dan adil yang selalu relatif bagi kebutuhan masyarakat dan harus ditentukan dengan memperhatikan gangguan dan kesusahan yang dialamioleh para pemilik dan penduduk tanah tersebut.
6. Bea Cukai dan Pungutan
Pengertian bea cukai dan pungutan mempunyai bentuk praktis selama masa pemerintahan khalifah Umar yang mengangkat para Ashir dan memerintahkan mereka memungutnya dari para pedagang Dhimmi dan para Harbi suatu negara tetangga non muslim sampai sejumlah yang dipungut oleh negara tersebut. Perbedaan antara tingkat bea cukai dan pungutan yang ditarik dari kaum muslimin dan yang ditarik dari kaum Dhimmi adalah karena pada kenyataannya mereka lebih banyak membutuhkan perlindungan dari para perampok daripada kaum muslimin, berbeda dengan kaum muslimin yang harus membayar zakat dari barang dagangan mereka baik melalui ataupun tidak melalui seorang Ashir, kaum Dhimmi hanya dikenai pungutan 5 %, sejauh mereka berada di bawah yurisdiksi seorang Ashir bila mereka melakukan perjalanan untuk dagang.
Para pedagang Harbi tunduk pada peraturan pajak yang berlaku di negara islam, karena golongn Harbi memperoleh perlindungan negara islam selama mereka berdiam di sana. Karena walaupun golongan Harbi memungut pajak dari keseluruhan harta benda para pedagang muslim, namun Ashir tidak memungut keseluruhan dari harta benda golongan Harbi. Golongan Ashir membiarkan harta benda golongan Harbi secukupnya sehingga memungkinkan merka untuk dapat pulang, dan tentu mereka memerlukan pangan dan kebutuhan lainnya. Karena harta miliknya yang sangat sedikit tidak membutuhkan perlindungan dari kaum perampok.


[1] Dumairy,(2004)

Konsumsi dalam Islam

0



Makroekonomi
Konsumsi dalam Islam
Kelompok 3A
Disusun Oleh         :

1.    Ririn Nopiah                    (20130430351)
2.    Annisa  Rahmawati R       (20130430      )
3.    Fitri Rofy N                     (20130430      )
4.    Eni Rahmawati                 (20130430      )


Fakultas Ekonomi
Ekonomi Keuangan dan Perbankan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2013-2014


Kata pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat ,taufik serta hidayahnya.
Shalawat serta salam, kami haturkan kepada jungjungan nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang seperti yang telah kita rasakan pada saat ini serta iman dan islam, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makroekonomi “Konsumsi dalam Islam ”
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam menulis, menyampaikan kepustakaan yang sekiranya perlu perbaikan dan saran dari pembaca ataupun pembimbing. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini yang datang baik dari pembaca ataupun dosen pembimbing.
Demikian kata pengantar dari kami sebagai penulis, semoga makalah ini bermanfaat dan makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya, semoga kita semua mendapatkan faedah dan penerangan hati dalam setiap menuntut ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan akhirat, terimakasih atas perhatiannya.



Yogyakarta, 24 September 2014


Penulis




Teori Konsumsi (Konsumsi dalam Islam)
Dilihat dari arti ekonomi, konsumsi merupakan tindakan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna ekonomi suatu benda. Sedangkan menurut Draham Bannoch dalam bukunya economics memberikan pengertian tentang konsumsi yaitu merupakan pengeluaran total untuk memperoleh barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (dalam satu tahun) pengeluaran.
Konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu  Consumption. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi.[1] Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan  di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan  disposabel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan:
C = a + bY  .............. dimana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0, b adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan nasional.
1.1              Prinsip Konsumsi dalam Islam
Bila dikatakan kepada mereka,”Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu,”orang-orang kafir itu berkata,”Apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.” (Q.S 36 : 27)
Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar :
A.                   Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak diarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yag telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah (Q.S AL-Baqarah, 2 :173)

B.                   Prinsip Kebersihan
Syarat kedua ini tercantum dalamkitab suci Al-Qur’an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.

C.                   Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebihan.
Dalam Al-Qur’an dikatakan :
“...... Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang berlebih-lebihan” (Q.S, Al-A;raaf 7:31)
Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwadan tubuh,demikian pulabila perut diisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam islam.

D.                   Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati perintah islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halalyang disediakan Allah karena kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dankesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Allah dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya (Q.S Al Maidah 5:96).

E.                    Prinsip Moralitas
Tujuan lain yaitu untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual.seorang muslin diajarkan untuk menyebut nama-nama Allah sebeum makan dan menyatakan terimakasih-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Illahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan dalam dirinya. Hal ini penting artinya karena islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.


1.2              Teori Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Menurut Kahf (1995), Chapra (2002;309),konsumsi agregat merupakan salah satu variabel kunci dalam ilmu ekonomi konvensional. Konsumsi agregat terdiri dari konsumsi barang kebutuhan dasar (Cn) serta konsumsi barang mewah (C1). Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan kenyamanan) dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat didefinisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen.
Lebih lanjut Chapra (2002;309) mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki porsi barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda ( C = Cn + C1 ) dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin sedikit suumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan demikian, meski terjadi peningkatan pada konsumsi agregat, ada kemugkinan bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan dasar penduduk miskin (Cn), jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang mewah (C1).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agrega ini (Cn dan C1). Yang lebih banyak dibicarakan dalam ilmu makroekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh dari tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang subsstansial dalam menentukan konsumsi bagregat (C), ada sejumlah faktor moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang memengaruhi pengalokasiannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn dan C1). Dengan demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi pendapatan dan kekayaan, perkembangan sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tentunya tak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom Muslim diantaranya  adalah Zarqa (1980 dan 1982), Monzer Kahf (1978 dan 1980), M.M Metwally (1981), Fahim Khan (1988), M.A Manan (1986), M.A Choudhury (1986), Munawar Iqbal (1986), Bnedjilali dan Al-Zamil (1993) dan Ausaf Ahmad(1992) telah berusaha memformulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan faktr-faktor tambahan ini meski tidak seluruhnya. Mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup untuk mengurangi konsumsi barang mewah (C1) yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Diperlukan cara untuk mengubah sikap, selera dan preferensi, memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang memandang buruk konsumsi seperti itu (C1). Disamping itu perlu pula menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna meningkatkan daya beli atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn). Hal inilah yang coba dipenuhi oleh paradigma religius, khususnya islam, dengan menekankan perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan kelembagaan (dalam Chapra, 2002;310)
Norma konsumsi Islam mungkin dapat membantu memberikan orientasi preferensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah (C1) dan bersama dengan jaring pengaman sosial, zakat serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn). Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn).
1.3              Fungsi Konsumsi Agregat
Asumsi-asumsi yang dapat diangkat menurut Susamto(2002) :
1. Zakat dikenakan atas semuaharta perniagaan dan investasi yang dimiliki kaum muslimin, baik individumaupun badan usaha.
2. Pembayar zakat perniagaan cukup besar dan menguasai satu bagian tertentu dari pendapatan nasional
3. Gerakan dakwah dan penyadaran zakat berhasi baik, sehingga setiap muslim yang wajib berzakat (muzakki) bersedia membayar zakat.
4. Proporsi zakat yang dibayarkan trsebut tetap, dengan jumlah tertentu dari pendapatan nasional
5. Zakat yang terkumpul dibagikan kembali kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq)
6. Mustahiq yang menerima zakat mempunyai kecendrungan mengonsumsi marginal (MPC) yang lebih tinggi secara signifikan dibanding muzakki
7. Zakat pendapatan dapat dihitung sebagai komponen pengurangan penghasilan kena pajak dan zakat yang diterima mustahiq tidak wajib dikenai pajak.
Jika C adalah tingkat konsumsi agregat, a adalah konsumsi otonom pada pendapatan sama dengan nol, b adalah kecenderungan mengonsumsi MPC dan Y adalah pendapatan nasional, maka persamaan fungsi tersebut adalah :
C1 = a + bYd; Yd  = (bY - aY)              (muzakki)
C2 = dY ; Z = aY                                 (mustahiq)
     = d [(1-b)Y +aY]
C  = C1 +C2
C  = a +b (bY -aY) + d[(1 - b)Y +aY]
Dimana a adalah besarnya zakat yang dibayarkan.

1.4              Hipotesis Pendapatan Mutlak
Pengaruh zakat terhadap pengeluaran pribadi akan dianalisis dengan fungsi konsumsi linier dan non-linier. Jika diansumsikan Y sebagai pendapatan bersih, C sebagai pengeluaran konsumsi dan t sebagai waktu , akan diperoleh hubungan sesuai dengan hipotesis ini , yaitu :
0<  < 1
Keynes membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi  ekonominya, dan teori itu telah memainkan peran penting dalam analisis makroekonomi sampai saat ini. Menurut Mankiw , dugan keynes tentang fungsi konsumsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Kecenderungan mengonsumsi marginal (marginal propensity to consume) adalah antara nol dan satu.
b.        Rasio konsumsi terhadap pendapatan atau kecenderungan mengonsumsi marginal (average propensity to consume), turun ketika pendapatan naik.
c.         Pendapatan merupakan determinana konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran yang penting.
Berdasarkan tiga dugaan tersebut, fungsi konsumsi dapat dibagi kedalam fungsi  konsumsi linier dan non-linier.



l  Fungsi Konsumsi Linier
a.         Fungsi konsumsi Linier Konvensional (Metwally ,1995;49-53) Katakanlah fungsi konsumsi untuk ekonomi non islam (tidak ada zakat dan tidak ada tindakanfiskal yang sama dengan itu, maka Z=0) adalah sebagai berikut:
C = a+ bY
Dimana :
C = konsumsi; Y =Pendapatan
a dan b adalah konstan untuk a > 0; 0 < b < 1
b.        Fungsi konsumsi Linier dalam Ekonomi Islam
Menurut Metwally fungsi konsumsi dalam ekonomi islam, untuk menyederhanakan masalah, dianggap besarnya zakat ditunjukkan oleh fungsi:
Z = α Y
Dimana :
0 < α < 1
Katakanlah bY merupakan pendapatan pembayaran zakat yang menguasai satu bagian tertentu dari pendapatan nasional; dan sisanya (1-β)Y adalah pendapatan penerima zakat , dimana 0 < β < 1 .
Dimisalakan juga sebagai hasrat konsumsi marginal penerima zakat, dimana : 0 < β < δ < 1

l  Fungsi  Konsumsi Non-Linier
a.        Fungsi Konsumsi Non-Linier dalam ekonomi Konvensional
Fungsi  konsumsi Non-Linier yang lebih realistis dengan persyaratan asumsi sebagai berikut:
i) untuk Y = 0 ; C = 0
ii)  > 0 tetapi () < 0
iii) > 0 tetapi           () < 0
Dengan kata lain , tingakat  konsumsi otonom/ outonomus (positif) dan hasrrat konsumsi rata-rata dan hasrat konsumsi marginal adalah positif, tetapi menurun dengan meningkatkan pendapatan.
Implikasinya :   0 <  () < ()

b.        Fungsi Konsumsi Non-Linier dalam Ekonomi Islam
Dalam Ekonomi Islam diperoleh persamaan :



= g ( 1 - α - β) [δ(δ-1)Yδ-2- b(b-1) Yb-2) > 0
Siddiqi (1988) dan Kahf (dalam khurshid ahmad) menyebutkan bahwa dengan adanya zakat maka hasrat konsumsi rata-rata dan hasrat konsumsi marginal dalam jangka pendek akan menurun. Akan tetapi penurunan ini lebih kecil di Ekonomi Islam dibandingkan dengan ekonomi Non-Islam yang tidaka punya tindakan fiskal yang sama, tetapi dalam jangka panjang tingkat konsumsi masyarakat kan mengalami peningkatan karena:
1.    Taraf hidup masyarakatpenerima zakat akan meningkat. Penurunan konsumsi tersebut disebabkan oleh permintaan akan barang-barang mewah yang menurun.
2.    Permintaan akan barang -barang pokok dari masyarakat tersebut akan meningkat seiring meningkatnya taraf hidup masyarakat yang menerima zakat. Namun, ajaran Islam tidak menganjurkan konsumsi boros, dan barang mewah, dan ingat tentang hari kemudian (aakhirat). Ajaran Islam dalam batas-batas tertentu dapar mengimbangi efek zakat terhadap konsumsi.

1.5              Fungsi Konsumsi Intertemporal
Konsumsi intertemporal (dua periode) adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu yaitu masa sekarang (periode pertama) dan  masa yang akan datang (periode kedua). Dalam konsep Islam, konsumsi intertemporal dijelaskan oleh hadis Rasulullah s.a.w yang maknanya adalah “yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”. Oleh karena itu persamaan pendapatan menjadi:
Y = (C+Infak) + S
Persamaan ini disederhanakan menjadi:
Y = FS + S
            FS adalah final spending (konsumsi akhir) di jalan Allah.
Dalam Ekonomi Islam tidak berlaku sistem bunga, sehingga bunga yang dibayarkan kepada penabung adalah nol dan digantikan dengan sistem bagi hasil. Selain itu dalam ekonomi Islam jika z adalah besarnya total zakat, maka persamaannya bagi orang yang membayar zakat menjadi:

Di mana : y  = pendapatan total
                  rr = tingkat bagi hasil (mudharabah)
                   z  = besarnya zakat 2,5%
                    t = tingkat pajak
sedangkan bagi orang yang mendapatkan bantuan zakat persamaannya menjadi:
ct  = = yt + yt+1 + zt +
hal ini terjadi karena pendapatan kaum miskin yang tadinya hanya sebesar;
                                       ct +,ct+1 = yt + yt+1
jika mereka memiliki pendapatan yang kecil maka akan ditambah dengan zakat yang sebesar z1 +  , dan jika penduduk miskin tidak memiliki penghasilan sebelumnya maka konsumsinya sebesar bagian zakatnya atau sebesar;
                                       ct + ct+1 = zt +
1.6              Hipotesis Pendapatan Relatif
            Metwally mengatakan menurut hipotesis pendapatan relatif konsumsi sekarang tidak saja ditentukan sebagai fungsi pendapatan siap konsumsi sekarang, tapi juga pendapatan sebelumnya.
            Menurut hipotesis ini, konsumsi rata-rata dan konsumsi marginal adalah konstan. Keduanya tetap sama meskipun pendapatan naik ke tingkat pendaptan puncak. Jika pendapatan sekarang lebih kecil dari pendapatan puncak, maka hasrat konsumsi marginal akan lebih kecil dari hasrat konsumsi rata-rata. Akan tetapi hasrat konsumsi rata-rata akan meningkat jika pendapatan sekarang meningkat.
            Penerima zakat dan sedekah akan mengeluarkan seluruh pendapatan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pembayar zakat dan sedekah mungkin sekarang dapat menabung sebagian pendapatan atau membeli barang dan jasa guna mengimnbangi pengeluarannya (Metwally).
            Oleh karena itu, zakat dan sedekah akan mengurangi konsumsi, menguraangi ketidakmerataan. Sebab itu, jika konsumsi menurut hipotesis pendapatan relatif berlaku dalam ekonomi Islam, maka zakat dan sedekah dapat meningkatkan jumlah tabungan yang dapat diarahkan untuk investasi.
1.7              Franco Modigliani dan Hipotesis Daur Hidup
Modigliani berpendapat bahwa pendapatan bervariasi secara sistematis selama kehidupan seseorang dan tabungan membuat konsumen dapat menggerakkan pendapatan dari masa hidupnya ketika pendapatan tinggi ke masa hidup ketika pendapatan rendah.
            Metwally berpendapat sesuai dengan hipotesis siklus hidup/daur hidup, konsumsi tidak saja bergantung pada pendapatan rumah tangga pada saat ini, tapi juga pada kekayaan dan pendapatan yang diharapkan di masa mendatang. Konsumen akan mendistribusikan sumber daya yang ada untuk mengatur konsumsi selama hidupnya, karena itu konsumsi harus dihubungkan dengan kehidupan individu dan tidak untuk satu periode saja.
Sebuah fungsi konsumsi:
Ct= aWt-1 + bYt =cYt
di mana: W sebagai jumlah kekayaan, dan Ye sebagai nilai sekarang pendapatan yang akan datang. Hipotesis ini menganjurkan untuk menggunakan pendapatan sekarang sebagai pengganti Ye, dan karena itu fungsi konsumsi menjadi:
Ct= aWt-1 + a2 Yt
Hipotesis ini, menunjukkan bahwa redistribusi pendapatan menguntungkan kelompok miskin dan kelompok yang memerlukan, namun tidak berpengaruh besar pada pengeluaran konsumsi agregat.

1.8              Milton Friedman dan Hipotesis Pendapatan Permanen
              Friedman menawarkan hipotesis pendapatan-permanen untuk menjelaskan perilaku konsumsi. Hipotesis pendapatan-permanen menekankan bahwa manusia mengalami perubahan acak dan temporer dalam pendapatan mereka dari tahun ke tahun.
              Pendapatan permanen adalah pendapatan yang diharapkan diperoleh selama jangka waktu lama, tetapi pendapatan tidak kekal/tetap, menambah atau mengurangi pendapatan permanennya. Biasanya rata-rata pendapatan tidak kekal dalam jangka panjang positif dalam periode tertentu atau bahkan negatif dalam periode yang lain. Pendapatan tidak kekal ini tidak besar pengaruhnya pada konsumsi.
              Menurut Metwally, pendapatan permanen dapat didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang pendapatan sekarang dan pendapatan yang lalu. Hasrat konsumsi dalam jangka pendek (cG0) akan lebih kecil dari hasrat konsumsi marginal jangka panjang, atau:
                                                                    c > cG0
                   Menurut pendekatan ini, redistribusi pendapatan akan menguntungkan kelompok miskin dan kelompok yang memerlukan, dan tidak memengaruhi pengeluaran agregat, kalau redistribusi tersebut memengaruhi konsumsi dan pendapatan permanen, dan bukan konsumsi dan pendapatan tidak kekal.
            Dalam ekonomi Islam, besarnya zakat adalah tetap, tidak seperti pajak. Jadi pengeluaran tersebut atas pertimbangan agama, dan karena Allah. Konsumsi permanen tidak akan berpengaruh terhadap redistribusi pendapatan di suatu negara Islam.
1.9              Konsumsi Agregat dalam Ekonomi Islam
Dalam Ekonomi Islam perekonomian secara makro terdiri atas dua karakteristikyang berbeda, yaitu muzzaki dan mustahiq .
C = C1+ C2
C = a + b ( βY-αY) + δ[(1-β)Y + αY]
Dimana β adalah besarnya zakat yang dibayarkan.
Dalam persamaan diatas belum memperhitungkan adanya pajak yang harus dibayarkan oleh muzzaki , sedangakan mustahiq tidak berkewajiban membayar pajak. Oleh karna itu, untuk memudahkan pemahaman, dianggap βY merupakan pendapatan pembayaran zakat yang menguasai satu bagian tertentu dari pendapatan nasional ; dan sisanya (1-β) Y adalah pendapatan penerimaan zakat. Jika transfer pemerintah atau Tr dianggap nol, dan pajak (Tx=tY). Kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (APC) adalah tingkat konsumsi dibagi pendapatan nasional, dan kecenderungan mengkonsumsi.
Zakat perniagaan, di satu sisi akan mengurangi penghasilan kena pajak muzzaki, dan di sisi lain tidak termasuk objek pajak yang wajib bagi mustahiq.  Kecenderungan mengonsumsi rata-rata (APC) adalah tingkat konsumsi dibagi pendapatan nasional, dan kcenderungan mengonsumsi marjinal (MPC) adalah turunan pertama dari tingkat konsumsi.


Proses penentuan pendapatan didalam suatu ekonomi Islam dapat juga diuji dengan bantuan suatau diagram. Diansumsikan kondisi ekonomi berada pada perkonomian tertutup, pengeluaran agregat (konsumsi) diukur pada garis yang vertikal dan pendapatan agregat sepanjang garis horisontal di dalam gambar (1). Garis 45  menunjukkan suatu fungsi penawaran agregat yang memiliki pengertian bahwa konsumsi dan pendapatan selalu sama sepanjang garis ini. Garis C  adalah fungsi konsumsi. Slope atau kemiringan dari garis ini menunjukkan kecenderungan marginal untuk mengkonsumsi. Garis C + 1 menunjukkan  pengeluaran agregat yang terdiri dari pengeluaran untuk konsumsi dan investasi .
Jarak yang vertikal antara garis C dan C + 1 mmberi jumlah investasi yang mana adalah sama dengan tingkatan pendapatan sebab semua investasi diamsumsikan otonomi. Slope C + 1 sama persis halnya slope garis C dan bahwa mengapa garis C + 1 sama persis halnyaslope garis C dan bahwa mengapa garis C + 1 persisnya pararel dengan garis C . ( Ausaf Ahmad , 1987)
Keseimbangan terjadi pada perpotongan antara garis C1 + C2 + I dengan garis penawaran agregat (450). Pada gambar 1 ditunjukkan pada tingkat pendapatan sebesar Y.
1.10          Konsumsi Agregat pada Perekonomian Dua Sektor
Dalam perekonomian tertutup dua sektor, dimisalkan diketahui ;
Y = Total Pendapatan Nasional
C = Pengeuaran konsumsi pada seluruh masyarakat
Z = Pengeluaran untuk zakat
E = Pengeluaran amal ibadah lain seperti infaq, dan shadaqah
I = Pengeluaran untuk investasi
Diasumsikan investasi tetap I = I0 dan pemerintah tidak ikut campur dalam perekonomian, hanya ada pengeluaran zakat, infaq dan shadaqah, maka :
Y = C + I
C = C1 + C2
C1 = a + b (Y - Z - E)
Berdasarkan asumsi ini, fungsi konsumsi penerima zakat adalah :
Y =  (a +I0)
Dimana :
z = tingkat marginal dan rata-rata beban zakat
Y = pendapatan
g = kecenderungan pembayaran infaq dan shadaqah

1.11          Fungsi Pajak dan Subsidi
Pajak (Tx)dan subsidi (Tr) memengaruhi pengeluaran konsumsi dan tabungan. Di dalam periode Islam Klasik, penerimaan utama berasa dari unsur-unsur sebagai berikut :
1. Zakat
Sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan negara islam pada periode klasik serta di negara-negara islam pada umumnya adalah zakat yang nota bene merupakan salah satu rukun islam. Zakat berpengaruh besar terhadap berbagai sifat dan cara pemilikan harta benda ( atau kekayaan). Harta benda tersebut dikenakan zakat jika telah melampaui nilai minimum yang sering disebut nishab berdasarkan cara dan kriteria perhitungan yang berbeda, tergnatung harta benda yang dizakatinya.
Zakat dalam berbagai fungsinya membangun pajak kekayaan negara, karena mendayakagunakan semua bentuk kekayaan yang ada. Tidak seperti halnya dalam pajak modern, pengaturan pengumpulan zakat begitu sederhana dan tidak memerlukan pengetahuan khusus. Berkaitan dengan tata cara pengumpulan zakat ini, terhadap hal penting yang perlu di garis bawahi, yakni perbedaan antara zakat kekayaan yang tampak dan yang tidak tampak (kelihatan).
Pelaksanaan pemungutan zakat secara semestinya, secara ekonomi menghapus tingkat perbedaan kekayaan yang mencolok, serta sebaliknya dapat menciptakan redistribusi pendapatan yang merata, dismaping pula membantu mengekang laju inflasi. Selain perkembangan tak menentu dari peredaran mata uang di dalam negeri, kekurangan barang dan kecepatan  peredaran uang.
2. Jizyah
Sumber penerimaan lain adalah jizyah atau pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim, sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh suatu negara islam pada mereka guna melindungi kehidupannya misalnya harta benda, ibadah keagamaan dan untuk pembebasan dari dinas militer.
3. Kharaj atau Pajak Bumi
Kharaj adalah sejenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim, atau yang tidak beriman. Cara pungutan kharaj dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
Kharaj menurut perbandingan dan kharaj tetap.
Kharaj menurut perbandingan ditetapkan porsi hasil seperti setengan atau sepertiga hasil itu. Sebaliknya kharaj tetap adalah beban khusus pada tanah sebanyak hasil alam atau uang per satuan lahan. Kaharaj menurut perbandingan pada umumnya dipungut pada setiap kali panen, sedangkan kharaj tetap menjadi wajib setelah lampau satu tahun.
4. Ushoor atau Barang Rampasan Perang
Barang rampasan perang merupakan salah satu sumber pendapatan negara islam yang berkurang. Islam menbatasi tuntuan tentara penakluk pada empat per lima dari seluruh hasil dengan menahan seperlima bagian rampasan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an :
“ ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperima untuk Allah, Rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir” (Q.S an Anfal 8:41)
5. Pajak atas Pertambangandan Harta Karun
Negara memiliki hak untuk mengekploitasi sumber tambang atau mineral untuk kesejahteraan masyarakat. Namun nasionalisasi juga tidak sepenuhnya dibenarkan, oleh karena itu negara islam harus membuat ketentuan untuk pembayaran ganti rugi yang wajar dan adil yang selalu relatif bagi kebutuhan masyarakat dan harus ditentukan dengan memperhatikan gangguan dan kesusahan yang dialamioleh para pemilik dan penduduk tanah tersebut.
6. Bea Cukai dan Pungutan
Pengertian bea cukai dan pungutan mempunyai bentuk praktis selama masa pemerintahan khalifah Umar yang mengangkat para Ashir dan memerintahkan mereka memungutnya dari para pedagang Dhimmi dan para Harbi suatu negara tetangga non muslim sampai sejumlah yang dipungut oleh negara tersebut. Perbedaan antara tingkat bea cukai dan pungutan yang ditarik dari kaum muslimin dan yang ditarik dari kaum Dhimmi adalah karena pada kenyataannya mereka lebih banyak membutuhkan perlindungan dari para perampok daripada kaum muslimin, berbeda dengan kaum muslimin yang harus membayar zakat dari barang dagangan mereka baik melalui ataupun tidak melalui seorang Ashir, kaum Dhimmi hanya dikenai pungutan 5 %, sejauh mereka berada di bawah yurisdiksi seorang Ashir bila mereka melakukan perjalanan untuk dagang.
Para pedagang Harbi tunduk pada peraturan pajak yang berlaku di negara islam, karena golongn Harbi memperoleh perlindungan negara islam selama mereka berdiam di sana. Karena walaupun golongan Harbi memungut pajak dari keseluruhan harta benda para pedagang muslim, namun Ashir tidak memungut keseluruhan dari harta benda golongan Harbi. Golongan Ashir membiarkan harta benda golongan Harbi secukupnya sehingga memungkinkan merka untuk dapat pulang, dan tentu mereka memerlukan pangan dan kebutuhan lainnya. Karena harta miliknya yang sangat sedikit tidak membutuhkan perlindungan dari kaum perampok.


[1] Dumairy,(2004)