RSS

Senin, 27 April 2015

Hamonisasi Zakat dan Pajak


BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, suatu masyarakat sekarang hidup dalam dua macam kepemimpinan. Pimpinan formal dan pemimpin non formal. Formal adalah Pemerintah, mulai dari presiden, menteri, dirjen, gubernur, bupati, camat, dan seterusnya. Non formal adalah tokoh- tokoh masyarakat, alim ulama, pemimpin dari berbagai agama lainnnya. Sejarah perjuangan kemerdakaan membuktikan adalah berkat peran serta penuh dari tokoh agama, yang berhasil menggerakkan umat dan rakyat untuk melibatkan diri di dalam perjuangan kemerdakaan itu.
Dalam Negara yang merdeka dan membangun seperti sekarang ini, tidak berlebihan jika dikatakan suatu program pemerintah yang perlu melibatkan rakyat, tidak mungkin terlaksana tanpa keikutsertaan tokoh agama, khususnya alim ulama. Sebaliknya kalau tokoh yang merupakan informal leader atau non formal leader ikut berperan serta aktif, karena itu merupakan jaminan.
Untuk keberhasilan pembangunan, kita harus memobilisasi fund and forces, dana dan kekuatan. Di dalam Negara yang sudah berkembang, dana dari pajak sangat tinggi sehingga mereka dapat mandiri, tidak bergantung kepada dana dari luar. Di Indonesia, jika menginginkan mengurangi ketergantungan kita kepada bantuan luar negeri, antara lain jalan satu-satunya ialah menigkatkan pendapatan pajak.  Tetapi pada kenyataannya jika pajak dinaikkan terlalu tinggi banyak sebagian dari masyarakat menolak atas kenaikan tersebut. Disinilah peran serta para ulama untuk ikut serta dalam mobilisasi dana melalui sistem lainnya dengan tetap mempertahankan pula sistem perpajakan yaitu zakat.
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengaitkan antara shalat dan zakat. Itu suatu tanda bukti  tentang betapa pentingnya zakat di dalam Islam. Dan dari lima Rukun Islam, yang mempunyai aspek social kemasyarakatan hanya zakat. Jadi zakat merupakan intregated part atau bagian yang tidak terpisahkan dari agama kita. Masalah yang sering timbul di dalam soal zakat adalah kurangnya kepercayaan dari rakyat dan masyarakat kepada badan pengelola itu sendiri. Sebab sering pengurus jadi urusan. Maka kita perlukan satu badan yang mempunyai intregitas dan dipercaya oleh umat.
Tidakkah terpikirkan apabila pajak dan zakat sama-sama dilaksanakan, maka kemungkinan besar akan menjadi dampak yang baik bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk negara terutama dalam hal APBN (Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara) dan juga meminimalisir adanya deficit budget anggaran negara.

B.            Rumusan Masalah
Bagaimana harmonisasi zakat dan pajak dapat mengatasi permasalahan ekonomi dalam suatu negara dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup umat melalui kajian teoritis.

C.            Tujuan
Untuk mengetahui salah satu cara  pemecahan masalah ekonomi dalam suatu negara terutama negara islam dengan cara penerapan zakat dengan mempertahankan efisiensi penggunaan pajak yang diterapkan oleh pemerintah sehingga terciptanya harmonisasi antara zakat dan pajak sebagai sumber dana masyarakat (umat) dan negara.

BAB II
PEMBAHASAN
A.            Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang - sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:
1.             Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2.             Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3.             Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4.             Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
5.             Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara atau Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur atau regulatif).
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
·                Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

·                Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
·                Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
·                Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

B.            Zakat
Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zakat yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik.[1] Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seorang itu zaka, berarti orang itu baik. Menurut lisan al-Arab arti dasar dari kata zakat, ditinjau dari sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan  terpuji. Semuanya digunakan di dalam Quran dan hadits.
Tetapi yang terkuat, menurut Wahidi dan lain-lain, kata dasar Zaka berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu Zaka, artinya tumbuh, sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut Zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka di sini berarti bersih.
Dan bila seseorang diberi sifat zaka dalam arti baik, maka berarti orang itu lebih banyak mempunyai sifat yang baik. Seorang itu zaki, berarti seorang yang memiliki lebih banyak sifat-sifat orang baik, dan kalimat “hakim-zaka-saksi” berarti hakim menyatakan jumlah saksi-saksi diperbanyak.
Zakat dari segi istilah fikih berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak” di samping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu” menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan,” demikian Nawawi mengutip pendapat Wahidi.[2]
Ibnu Taimiah berkata, “jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya.[3] Arti “tumbuh” dan “suci” tidak dipakaikan hanya buat kekayaan, tetapi lebih dari itu, juga buat jiwa orang yang menzakatkannya, sesuai dengan firman Allah suart At-Taubah ayat 103 :
 “pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan sucikan mereka dengannya”.
 Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam. Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan sebuah kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun.
Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
·                Zakat fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan suci Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.

·                Zakat maal (harta)
Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak merupakan tambang elok, Allah memberi padanya banyak manfaat yang tak terdapat pada aneka tambang lain. Lantaran kelangkaan dan keindahannya, bangsa manusiia telah menjadikannya uang dan nilai tukar bagi segala sesuatu sejak kurun-kurun lalu.
Dari sisi ini, syariat memandang emas dan perak dengan pandangan tersendiri, dan mengibaratkannya sebagai suatu kekayaan alam yang hidup. Syariat mewajibkan zakat keduanya jika berbentuk uang atau leburan logam, dan juga jika berbentuk bejana, souvenir, ukiran atau perhiasan bagi pria.
Adapun jika dipakai sebagai perhiasan bagi wanita, maka hukumnya menjadi lain, yang dalam hal ini para fuqaha berbeda paham. Untuk hal ini, zakat emas dan perak terbagi ke dalam dua pembahasan yaitu : zakat uang dan persyaratan-persyaratannya, dan zakat perhiasan dan hadiah berikut perincian dan perbedaan pendapat tentangnya.
1. Zakat uang
Sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum muslimin atas kewajiban zakat uang, maka mereka pun bersepakat atas ukuran kewajiban pengeluaran zakatnya. Disebutkan dalam al-mughni, bahwa tidak ada perbedaan pendapat ulama, bahwa zakat emas dan perak adalah dua setengah (2 ½ %), seperti yang telah ditetapkan dalam hadits Rasulullah “pada riqqah 2 ½ %”.
Dalam hal ini syariat telah meringankan ukuran. Syariat tidak menjadikannya 10% atau 5% umpamanya, seperti dalam zakat tanaman dan buah-buahan, karena tanam-tanaman dan buah-buahan, dalam kaitannya dengan bumi merupakan untung bagi pemilik harta. Maka seolah-olah zakat padanya merupakaannya pajak atas keuntungan pemelihara. Berbeda dengan zakat uang, maka ia merupakan smacam pajak atas pemiliknya baik untung maupun rugi.
Dalam hadits ‘muttafaq ‘alaih’ disebutkan “tidak ada pada selain 5 awqiyah sedekah (zakat)”[4]. Dalam surat Al-Kahfi : “Maka suruhlah salah seorang diantara kamu ke kota dengan membawa uang perakmu.” Kata ‘warq’ dalam hadits ini berarti dirham. Awqiyah seperti kita ketahui adalah 40 dirham, sesuai dengan nash yang masyhur dan kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana Nawawi berkata : lima uqiyah sama dengan 200 dirham.
Terbukti bahwa uang perak banyak beredar dan dipakai di kalangan orang-orang Arab pada masa Nabi. Oleh karena itu, hadits-hadits yang masyhur menyebutkannya dan menetapkan ukuran zakat yang dikeluarkan dan jumlah nisabnya. Maka menjadi jelaslah yakni 200, atau nisab perak adalah 200 dirham. Hal ini tidak menjadi pendapat ulama islam. Adapun uang emas (dinar) tidak terdapat dalam hadits tentang nisabnya sekuat hadits tentang perak. Oleh karena itu, nisiab emas belum mencapai kesepakatan seperti halnya perak. Hanya para jumhur terbesar dari fuqaha berpendapat bahwa nisab emas adalah 20 dinar.

2. Zakat perhiasan dan hadiah
Diantara pemakaian yang diharamkan adalah ada unsur berlebih-lebihan yang menyolok perhiasan seorang perempuan. Hal itu dapat diketahui dengan penyimpanan seorang perempuan tersebut dari kebiasaan lingkungan, zaman dan kekayaan umatnya. Jika perhiasan tersebut dipersiapkan untuk pemakaian yang mubah seperti perhiasan perempuan yang tidak berlebih-lebihan, dan apa yang dipersiapkan untuk mereka, serta cincin perak seorang laki-laki maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena perhiasan tersebut tidak merupakan harta yang berkembang,, karena merupakan diantara kebutuhan-kebutuhan manusia dan perhiasannya seperti pakaiannya, peralatannya dan kenikmatannya dan telah dipersiapkan untuk pemakaian yang mubah maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya seperto binatang yang dipekerjakan seperti unta dan sapi.
Tidak ada perbedaan antara perhiasan mubah tersebut dimiliki oleh seorang perempuan dan dipakainya sendiri atau dipinjamkan dengan perhiasan tersebut milik seoarng laki-laki dan dipakainya sendiri atau dipinjamkannya atau dipersiapkan untuk itu.  Yang wajib dizakati dari perhiasan atau tempat-tempat atau museum adalah sebesar ukuran mata uang dan dikeluarkan zakatnya, sebanyak 2 ½ % setiap tahunnya dengan hartanya yang lain jika memiliki.
Hal ini dengan syarat mencapai nisab, yaitu 85 % gram emas, yang mu’tabar dadalah nilainya dan bukan ukurannya. Karena perbuatannya mempunyai pengaruh terhadap penambahan nilainya.



Zakat binatang ternak
Dunia binatang amat luas dan banyak tetapi yang berguna bagi manusia hanya sedikit yaitu unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri. Binatang-binatang tersebut telah dianugerahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan manfaatnya banyak diterangkan dalam ayat-ayat suci Quran. Allah berfirman :
(Q.S Surat Quran An-Nahl : 5-7) :
Artinya : Dan dia Telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ayat lain, firman Allah : (Qur’an surat An-Nahl :80) :
Artinya : Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
Ayat lain lagi, firman Allah : (Qur’an surat An-Nahl :66) :
Artinya : Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
Dan juga firman Allah : (Qur’an surah Yasin : 71-73) :
Artinya : Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya kami Telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang Telah kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri, lalu mereka menguasainya? Dan kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; Maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
Binatang-binatang ternak itu semuanya diciptakan Allah untuk kepentingan manusia, antara lain untuk ditungganginya sebagai kendaraan dimakan dagingnya, diminumnya susunya dan diambil bulu dan kulitnya. Oleh karena itu pantaslah Allah meminta para pemilik binatang itu bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkanNya kepada mereka.
Realisasi  konkrit dari syukur tersebut sesuai denagn tuntunan Qur’an dan hadits Nabi adalah “zakat” beserta batasan tentang nisab dan besar yang wajib dikeluarkan dan pengiriman para petugas pemungut zakat setiap tahun kepada mereka yang wajib berzakat serta ancaman siksaan di dunia dan azab di akhirat bagi orang-orang yang tidak mau berzakat.
Binatang ternak khususnya unta merupakan harta yang paling berharga dan paling anyak digunakan bagi orang Arab. Oleh karena itu, ditentukan berapa nisab dan besar zakat yang harus dikeluarkan. Dan banyak negara di dunia sumber pendapatannya yang utama adalah ternak dengan jumlah ternak mencapai jutaan ekor. Di antara negara-negara itu misalnya Sudan, Somali, Ethiopia dan lain-lain.
Zakat perniagaan
Ini adalah pandangan jumhur ulama sejak zaman sahabat, tabi’in, dan fuqaha berikutnya, tentang wajibnya zakat harta perniagaan, ada pun kalangan zhahiriyah mengatakan tidak ada zakat pada harta perniagaan. Zakat ini adalah pada harta apa saja yang memang diniatkan untuk didagangkan, bukan menjadi harta tetap dan dipakai sendiri. 
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah mengatakan tentang batasan barang dagangan:Seandainya seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri seperti mobil yang akan dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan nanti dia akan menjualnya, maka itu juga bukan termasuk barang tijarah (artinya tidak wajib zakat, ). Hal ini berbeda dengan jika seseorang membeli beberapa buah mobil memang untuk dijual dan mengambil keuntungan darinya, lalu jika dia mengendarai dan menggunakan mobil itu untuk dirinya, dia menemukan adanya keuntungan dan menjualnya, maka apa yang dilakukannya yaitu memakai kendaraan itu tidaklah mengeluarkan status barang itu sebagai barang perniagaan. Jadi, yang jadi prinsip adalah niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, dia tidak meniatkan untuk menjual dan mencari keuntungan, maka hal itu tidak merubahnya menjadi barang tijarah walau pun akhirnya dia menjualnya dan mendapat keuntungan. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat merubah barang dagangan menjadi barang yang dia pakai sendiri, maka niat itu sudah cukup menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan statusnya sebagai barang dagangan, dan masuk ke dalam kategori milik pribadi yang tidak berkembang.[5]
Zakat buah-buahan
Para fuqaha sepakat atas kewajiban zakat tanaman dan buah-buahan. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam jenis tanaman dan buah apa saja yang dizakatkan. Secara ringkas sebagai berikut: Zakat tanaman dan buah-buahan hanya pada yang disebutkan secara tegas oleh syariat, seperti gandum, padi, biji-bijian, kurma dan anggur, selain itu tidak ada zakat. Ini pendapat Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Sufyan Ats Tsauri, dan Imam Asy Sya’bi. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy Syaukani.
Pendapat ini berdasarkan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari ketika mereka diutus ke Yaman: “Janganlah kalian ambil zakat kecuali dari empat macam: biji-bijian, gandum, anggur kering, dan kurma. [6]
Nishabnya adalah jika hasilnya sudah mencapai 5 wasaq, sebagaimana disebutkan dalam hadits: Tidak ada zakat pada apa-apa yang kurang dari lima wasaq.[7] Wasaq adalah enam puluh sha’ berdasarkan ijma’, dan satu sha’ adalah empat mud, lalu satu mud adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang dewasa. Dr. Yusuf Al Qaradhawi telah membahas ini secara rinci dalam kitab monumental beliau, Fiqhuz Zakah, dan menyimpulkan bahwa lima wasaq adalah setara dengan +/- 653 Kg. 
Zakat rikaz (barang temuan dan barang tambang
Rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya seperlima adalah semua yang berupa harta seperti emas, perak, besi, timah, tembaga, bejana, dan yang semisalnya. Inilah pendapat Hanafiyah, Hanabilah, Ishaq, Ibnul Mundzir, satu riwayat dari Malik, salah satu pendapat dari Asy Syafi’i. Pendapat yang lain: bahwa seperlima tidaklah wajib kecuali pada mata uang: yaitu emas dan perak.[8] Zakat rikaz dikeluarkan tanpa menunggu haul, tapi dikeluarkan ketika menemukannya, juga tidak ada nishab. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas).
Zakat Profesi
Ini adalah jenis zakat yang diperselisihkan para ulama. Hal ini sama dengan sebagian zakat lainnya, seperti zakat sayur-sayuran, buah-buahan selain kurma, dan zakat perdagangan. Sebagian kalangan ada yang bersikap keras menentang zakat profesi, padahal perbedaan seperti ini sudah ada sejak masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat tentang ada tidaknya zakat sayuran, buah, dan perdagangan tersebut. Seharusnya perbedaan pendapat yang disebabkan ijtihad seperti ini tidak boleh sampai lahir sikap keras apalagi membid’ahkan. 
Mereka yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, memandang ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:
- Profesi yang dengannya menghasilkan uang, termasuk kategori harta dan kekayaan.
- Kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan bertambah, tidak tetap, ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk disewakan. Dilaporkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab, walau tanpa haul.
- Selain itu, hal ini juga diqiyaskan dengan zakat tanaman, yang mesti dikeluarkan oleh petani setiap memetik hasilnya. Bukankah petani juga profesi? Sebagian ulama menolak menggunakan qiyas dalam masalah ini, tetapi pihak yang mendukung mengatakan bukankah zakat fitri dengan beras ketika zaman nabi juga tidak ada? Bukankah nabi hanya menyontohkan dengan kurma dan gandum? Saat ini ada zakat fitri dengan beras karena beras adalah makanan pokok di Indonesia, tentunya ini juga menggunakan qiyas, yakni mengqiyaskan dengan makanan pokok negeri Arab saat itu, kurma dan gandum. Jadi, makanan apa saja yang menjadi makanan pokok-lah yang dijadikan alat pembayaran zakat. Jika mau menolak, seharusnya tolak pula zakat fitri dengan beras yang hanya didasarkan dengan qiyas sebagai makanan pokok.
Tabel 1. Perhitungan Nisab dan kadar yang wajib dizakati
No
Benda Wajib Zakat
Nishab
Zakat
1.
Uang Tunai
86 gram atau 595 gr Perak atau 20 dinar atau 200 dirham
2,5 %
2.
Perdagangan
3.
Emas dan Perak
4.
Tambang atau Mineral
5.
Saham atau Obligasi atau Pendapatan
6.
Pertanian
5 wasq atau 652,8 Kg


·         irigasi
5 %

·         Tadah Hujan
10 %

·         Campuran
7,5 %
7
Barang Temuan
Tidak ada nishab
20 %
8
Binatang Ternak



·         Kambing atau domba
40 ekor
2 kambing jantan 1 tahun atau 1 kambing betina 1 tahun

·         Sapi atau Kerbau
30 ekor
1 sapi 1 tahun

·         Unta atau Kuda
5 ekor
2 kambing jantan 1 tahun atau 1 kambing betina 1 tahun

C.            Zakat sebagai suatu sistem
Dalam harta perbendaharaan Islam, kekayaan setiap anggota masyarakat wajib dikesampingkan bagian-bagian tertentu, lalu digunakan untuk kemajuan da kesejahteraan masyarakat sebagai suatu sistem social yang diwujudkan dalam bentuk semacam pemungutan uang yang disebut zakat.
·               Anggaran Belanja Islam
Zakat itu sendiri bermakna : Mensucikan dan Menyuburkan, Berkembang dan Berlipat Ganda.
Hasil zakat wajib diberikan sebagai suatu bagian dari anggaran perbelanjaan Islam untuk obyek-obyek pembangunan yang spesifik. Zakat sebagai suatu sistem kontribusi keuangan adalah tugas wajib tiap pribadi muslim yang dikeluarkan seperempat puluhnya dari seluruh harta kekayaan. Ia menjadi wajib yang mutlak bagi setiap muslim yang mampu dan sudah sampai tahun pengeluarannya, untuk kesejahteraan masyarakat dan negara.[9]
Kewajiban zakat ini mempunyai kedudukan yang potensial dalam harta perbendaharaan islam. Yang wajib diselamatkan untuk kepentingan perjuangan islam pada semua aspek kehidupan masyarakat. Hukum syara’ Islam menentukan bahwa zakat itu adalah milik bersama kaum muslimin. Wajib disalurkan dalam bentuk-bentuk tertentu, untuk menjamin kemakmuran bersama. Tidak ditunda sesaat pun apabila telah sampai waktu pengerluarannya. Bahkan dalam keadaan yang luar biasa, zakat itu perlu dikeluarkan walaupun belum sampai tahun perhitungannya.
Peranan utama yang dapat diambil dari harta zakat ialah untuk kemakmuran seluruh warga. Inilah tujuan-tujuan suci dan maksud Allah memerintahkan wajib zakat. Harta islam dilarang beredar dalam lingkungan tertentu saja. Tetapi dengan makna hakiki islam itu harus menjadi milik bersama masyarakat, dalam ketentuan-ketentuan hukum yang positif. Karena dalam hartu kaum muslimin itu terdapat kewajiban individu menginfakkan hartanya atas dasar mentaati perinta syara’. Dan hak masyarakat untuk mengambil bagian tertentu dari harta tersebut atas dasar hukum syara’ Islam.
·               Lembaga saving islam
Amir Syakib Arselan dalam kitabnya “Hadhirul Alamil Islamy” menulis sebagai berikut : “ajaran zakat adalah asas yang maha pentiing dalam sistem kemasyarakatan islam”.
Zakat adalah saudara kembarnya shalat. Dengan mempraktekkan zakat secara efektif dan teratur baik umat islam dapat menghapuskan kemelaratan, dan menghindarkan pertentangan dalam hidup umat manusia. Sebaliknya apabila umat islam lalai menunaikan kewajiban zakat, maka masyarakat mereka akan terancam oleh gerakan sosialisme, dan komunisme di satu pihak, sedangkan di pihak lain negara mereka akan dokoyak-koyak oleh negara-negara kapitalisme yang akan menguasai ekonomi dan perdagangan mereka. Ibarat tali yang direntangkan untuk tempat berpegang, tetapi di samping itu di suatu kesempatan baik dibelitkan pada jasad negara it utundiri. Sungguh kita tidak menemui alat pertahanan apapun yang dapat melindungi islam dari bahaya yang sedang mengancam itu, kecuali dengan membangun kembali kewajiban zakat menurut sistem yang diajarkan islam, dengan syarat diurus oleh suatu departemen atau paling kurang satu lembaga bagi masyarakat islam.”
Peraturan zakat memaksakan kepada pemilik-pemilik harta, para saudagar dan orang-orang yang mampu, untuk mengeluarkan dengan ukuran-ukuran yang sudah ditentukan, dipergunakan oleh pemerintah buat menolong warganya yang melarat dan lemah.  Zakat itu juga memerlukan tabir pembatasan antara golongan-golongan pemerintah, dan menjadikan rakyat bersatu dalam lingkaran kemasyarakatan yang adil dan merata.[10]
Amir Syakib ataupun Marx Wilhem menegaskan zakat itu harus tersusun dalam organisasi atau lembaga yang teratur rapi. Sistem itu mempertegaskan pula hakekat amil dalam zakat itu sendiri, yang langsung merupakan satu lembaga, yang akan melaksanakan tugas-tugas zakat. Zakat dengan sutau organisasi yang teratur akan merupakan lembaga saving yang mempunyai arti moneter yang cukup besar serta dana investasi jangka menengah dan jangka panjang.
Investasi yang kelak akan terbagi dalam daerah-daerah permoalan dari pekerjaan-pekerjaan perseorangan, sampai kepada usaha-usaha kecil dalam masyarakat.  Dana perjuangan akan terhimpun secara berimbang dan merata dalam pembangunan-pembangunan dan amal-amal social lainnya.

D.           Tujuan Zakat dan dampaknya pada kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat
·               Tujuan zakat dan dampaknya pada kehidupan pribadi
1.             Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir
Zakat yang dikeluarkan si Muslim semata karena menurut perintah Allah dan mencari ridhaNya, akan mensucikannya dari segala kotoran doosa secara umum dan terutama kotornya sifat kikir. Sifat kikir yang tercela itu, yang merupakan tabiat manusia, yang dengannya manusia itu diuji, karenanya Allah SWT sebagai rasa sayangNya kepada manusia, menanamkan cara-cara untuk menghilangkan tabiat dan watak itu.
Manusia digiringnya untuk bekerja dan meramaikan bumi ini, sehingga timbullah rasa keinginan untuk memiliki, keinginan pada sesuatu benda dan keinginan untuk tetap memiliki selama-lamanya. Sebagai akibatnya timbullah rasa kikir pada diri manusia terhadap apa yang ada pada dirinya, lebih mementiingkan diri sendiri terhadap hal-hal yang baik dan bermanfaat daripada orang lain, sebagaimana firmanNya surat al-israa ayat 100 “Dan adalah manusia itu sangat kikir”, surat al-ma’arij ayat 19 yang artinya “Manusia itu tabiatnya adalah kikir”.
Maka bagi manusia yang tinggi nilainya atau manusia Mu’min, wajib berusaha mengatasi sifat mementingkan diri sendiri  dan sifat keakuannya, berusaha menghilangnya sifat-sifat kikir itu dengan rasa keimanannya.

2.             Zakat mendidik berinfak dan memberi
Sebagaimana halnya zakat mensucikan jiwa si Muslim dari sifat kikir, ia pun mendidik agar si Muslim mempunyai rasa ingin memberi, menyerahkan dan berinfak. Si muslim bersiap-siap untuk berinfaq dan mengeluarkan zakat tanamannya apabila panen, pendapatan apabila ada, zakat hewan ternaknya, uang dan harta pedagangnya, apabila dating tahun, dan mengeluarkan zakat fitrahnya pada setiap hari raya idul fitri.
Dengan ini jadilah memberi dan berinfak sifat dan akhlak utama bagi dirinya. Atas dasar itu pula, maka akhlak yang semacam ini merupakan sifat-sifat dari Mu’min muttakin dalam pandangan Quran.

3.             Berakhlak dengan akhlak Allah
Manusia apabila sudah suci dari kikir dan batil, dan sudah siap untuk memberi dan berinfak, akan naiklah ia dari kekotoran sifat kikirnya, sebagaimana firman Allah :
“dan adalah manusia itu sangat kikir.” (Al-Quran Surat Al-Israa  : 100)
Dan ia hampir mendekati kesempurnaan sifat Tuhan, karena salah satu sifatNya adalah memberikan kebaikan, rahmat, kasih saying dan kebajikan, tanpa ada kemanfaatan yang kembali kepadaNya. Berusaha untuk menghasilkan sifat-sifat ini, sesuai dengan kemampuan manusia, adalah berakhlak dengan akhlak-Allah dan itulah ujung dari kesempurnaan nilai kemanusiaan.

4.             Zakat merupakan manifestasi syukur atas nikmat Allah
Sebagaimana dimaklumi, dapat diterima oleh akal, diakui oleh fitrah manusia, diseur oleh akhlak dan moral serta diperintahkan oleh agama dan syariat, adalah bahwa pengakuan akan keindahan dan syukur terhadap nikmat itu, merupakan sesuatu keharusan. Zakat akan membangkitkan bagi orang yang mengeluarkannya makna syukur kepada Allah SWT, pengakuan akan keutamaan dan kebaikanNya, karena sesungguhnya Allah SWT sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ghazali, senantiasa memberikan nikmat kepada hambaNya, baik yang berhubungan dengan diri maupun hartanya.
Ibadah badaniah merupakan pembuktiannya rasa syukur terhadap segala nikmat badan dan ibadah harta merupakan pembuktian rasa syukur terhadap nikmat harta. Alangkah ruginya orang yang mengetahui adanya orang fakir yang sempit rizkinya, yang sangat membutuhkan, kemudian orang itu tidak menundukkan nafsunya untuk bersyukur kepada Allah dengan memberi kepada orang yang meminta dengan 2 ½ % atau 10 % dari hartanya.[11]
Di antara hal yang perlu difikirkan dan dirasakan secara mendalam oleh fikiran dan perasaan kaum Muslimin, adalah bahwa zakat itu merupakan bandingan terhadap nikmat, sehingga setiap nikmat itu mesti diikuti dengan zakat oleh manusia, apakah nikmat itu bersifat materi atau ruhani. Masyhur di kalangan kaum muslimin ucapan : “zakatilah kesihatanmu, zakatilah mata dan penglihatanmu, zakatilah ilmumu, zakatilah keberhasilan anakmu dan seterusnya. Ini adalah suatu pengarahan yang tepat dan indah. Diriwayatkan dalam sebuah hadits : “segala sesuatu itu ada zakatnya”[12]
5.             Zakat mengobati hati dari cinta dunia
Zakat dari segi lain, merupakan suatu peringatan terhadap hati akan kewajibannya kepada Tuhannya dan kepada akhirat serta merupakan obat, agar hati jangan tenggelam kepada kecintaan dunia, sebagaimana dikemukakan oleh ar-Razi, dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akhirat. Dengan adanya syariat memerintahkan pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian harta dari tangannya, maka diharapkan pengeluaran itu dapat menahan kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap harta, menahan agar jiwa tidak dikuasainya dan memberikan peringatan bahwa kebahagian hidup itu tidaklah akan tercapai denagn penundukkan jiwa terhadap harta, akan tetapi justru kebahagiaan itu bisa dicapai dengan menginfakkan harta, dalam rangka mencari ridha Allah. Maka kewajiban zakat itu merupakan obat yang pantas dan tepat dalam rangka mengobati hati agar tidak cinta dunia secara berlebih-lebihan.[13]

6.             Zakat mengembangkan kekayaan batin
Diantara tujuan pensucian jiwa yang dibuktikan oleh zakat, ialah tumbuh dan berkembangnya kekayaan batin dan perasaan optimism. Sesungguhnya orang yang melakukan kebaikan dan makruf serta menyerahkan yang timbul dari dirinya dan tangannya untuk membangkitkan saudara seagama dan sesame manusia dan menegakkan hak Allah pada orang itu, maka orang tersebut akan merasa besar, tegar dan luas jiwanya serta merasakan jiwa orang yang diberinya seolah-olah berada dalam suatu gerakan.

·               Tujuan zakat dan dampaknya pada kehidupan masyarakat
1.             Zakat dan tanggung jawab social
Pada sasaran ini ada yang bersifat identitas social, seperti menolong orang yang mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang lemah, seperti fakir, miskin, orang yang berutang dan ibnu sabil. Zakat adalah salah satu bagian dari aturan jaminan social dalam islam, dimana aturan jaminan social ini tidak kenal Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jaminan pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir.

2.             Zakat dan segi ekonominya
Telah diisyaratkan pada bagian yang lalu, bahwa zakat dilihat dari segi ekonomi adalah merangsang si pemilik harta kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari mereka. Ini terutama jelas sekali pada zakat mata uang, dimana islam melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan pengembangan. Dalam hal ini ada ancaman Allah :
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih” (Quran surat At-Taubah :34)
Tentu tidaklah cukup dengan sekedar ancaman yang berat ini, akan tetapi islam mengumumkan perang dalam praktek terhadap usaha penumpukkan dan membuat garis yang tegas dan bijaksana untuk mengeluarkan uang dari kas dan simpanan. Hal itu tercermin ketika islam mewajibkan 2 ½ % dari kekayaan uang, apakah diusahakan oleh pemiliknya atau tidak. Dengan demikian, maka zakat itu merupakan suatu cambuk yang bisa mengiring untuk mengeluarkan uang agar diusahakan, diamalkan dan dikembangkan sehingga tidak habis dimakan waktu.
3.             Zakat dan tegaknya jiwa umat
Di atas itu semua, bahwa zakat itu mempunyai sasaran-sasaran dan dampak-dampak dalam menegakkan akhlak yang mulia yang diikuti dan dilaksanakan oleh umat islam serta dalam memelihara ruh dan nilai yang ditegakkan oleh umat, diibangun kesadarannya dan dibedakan dengan itu kepribadiannya.

E.            Titik persamaan antara zakat dan pajak
Dari kedua definisi, jelas bagi kita, bahwa di sana terdapat titik persamaan dan titik perbedaan antara pajak dan zakat. Kami akan mulai dengan titik persamaan tersebut.
a.              Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, karena keimanan dan keislamannya belum kuat, di sini pemerintah islam akan memaksanya, bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka punya kekuatan.
b.             Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga kemasyarakatan (negara), pusat maupun daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan yang disebut dalam Quran : amil zakat (al amilin alaiha).
c.              Di antara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggita masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dalam zakat. Pezakat tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku anggota masyarakat islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan dan solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi kepentingan umat islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya.
d.             Apabila pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik di samping tujuan keuangan, amka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek yang disbeutkan tadi dan aspek-aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.

F.             Sistem Pajak dalam Islam
Jauh sebelum Islam datang, sistem perpajakan telah lama dikenal oleh sejumlah umat manusia. Sejarah perpajakan dimulai dariadanya orang-orang yang menganggap bahwa tanah atau bumi adalah milik raja. Kepercayaan semacam ini telah lama berlaku sejak zaman dahulu kala. Dalam kitab perpajanjian lama (Taurat) disebutkan prosedur masuknya bumi dalam milik Fir’aun di Mesir. Dalam pasal 47 Kitab Kejadian diceritakan bahwa pada saat terjadi kelaparan hebat, pendududk Mesir Menjual segala macam harta bendanya, termasuk tanah bahkan dirinya kepada Fir’aun untuk mendapatkan gandum. Tanah-tanah itu kemudian digarap kembali oleh pemiliknya dengan benih Fir’aun kemudian sebagai imbalannya seperlima dari hasilnya dipersembahkan kepada Fir’aun.
Abdul Khaliq al-Nawawi dalam bukunya al-Nidham al-Malifi al-Isam menyebutkan bahwa Raja Ramsis II membaagi-bagikan tanah Mesir kepada penduduk. Tiap-tiapanggota keluarga memperoleh sebidang tanah dan sebagi gantinya atau imbalannya dikenakan kharaj atau pajak bumi., yang harus dibayarkan tiap-tiap tahun. Kharj ini sudah dikenal pada masa-masa Raja Ptolemen, Bizantine/Bizantium, Rumawi dan Persia.
Ibnu Khaldun[14] menyebutkan kata-kata Raja Anu Syirwan tentang pajak yang berbunyi : “Kerajaan bertumpu pada angkatan bersenjata; angkatan bersenjata bersangga pada harta benada; harta benda bertopang pada pajak; dan ditunjang oleh pembangunan”.[15] Tradisi pajak ini rupanya terus berlanjut sampai zaman raja-raja Arab pra Islam. Setelah Islam datang sistem pajak yang ternyata banyak manfaat dan maslahatnya ini eksistensinya diakui, dibenarkan dan disempurnakan. Di dalam Islam ada beberapa macam pajak di antaranya :
1.        Pajak harta kekayaan yang penetapan kewajibannya langsung Syari’ atau Allah SWT, yaitu zakat. Halini hanya dikenakan kepada orang-orang Islam saja.
2.        Jizyah, yaitu pajak yang dikenakan kepada kafir Dzimmi, yaitu non muslim yang hidup dinegara/ Pemerintahan Islam dengan mematuhi peraturan dan perundang-undangan pemerintahan Islam. Sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam kepada mereka mengenai jiwa, keselamatan, kemerdekaan, dan hak-hak azasi mereka, maka mereka dikenakan jizyah  atau pajak kepala. Dalam menghadapi negara/ wilayah non Islam ada tiga alternatif yang ditawarkan oleh Islam, yaitu masuk Islam, membayar jizyah atau diperangi. Bagi yang mau masuk Islam maka mereka aman, tidak diperangi dan tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang tidak mau masuk Islam ada dua pilihan, yaitu membayar jizyah atau diperangi.
3.        Kharaj, yaitu pajak bumi, ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat peperangan yaitu kemudian dikembalikan dan digarap oleh pemiliknya. Sebagai imbalannya maka pemiliknya menyerahkan pajak bumi dan bangunan pemerintah Islam.
4.        ‘Usyur, yaitu pajak perdagangan atau bea cukai ( pajak imporr dan ekspor).
5.        Dlaribatuddam (pajak darah/nyawa), yaitu berupa jihad fisabilillah (perang dalam rangka menegakkan agama Islam).

G.           Kewajiban Zakat dan Pajak
Baik zakat maupun pajak didalam Islam kedua-duaanya  hukumnya wajib dalam rangka menghimpun dana yang diperlukan untuk kesejahteran dan kemaslahatan umat. Bedanya dari segi penetapan hukumannya. Zakat penetapan hukumannya dari aagama atau Syari’, lewat beberapa ayat Al-Qur’an dam Hadits Nabi. Sedangkan pajak kewajibannya berdasarkan penetapan atau ijtihad[16] Ulil Amri atau pemerintah. Penetapan pajak oleh pemerintah ini wajib dipatuhi oleh rakyatnyasejqalan denhgan adanya perintah dari agama untuk taat dan patuh kepada Ulil Amri aatau pemerintah. Allah SWT berfirman:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Atas dasar ini maka bagi warga negaara yang beragama Islam daa dua kewajibqan (kewajiban ganda) dalam kaitannya dengan harta atau kekayaan yang dimilikinya. Pertama, kewajiban zaakat dan kedua, Kewajiban pajak.
Disinilah titik temu dan letak persamaan serta perbedaan antara zajat dan pajak. Kedua-duanya sam-sama wajib. Bedanya zakat kewajibannya berdasarkan nash Agama (ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi). Sedangkan pajak kewajibannya berdasarkan ijtihad Ulil Amri, sejalan dengan tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan.
Sisi lain persamaan ialah keduanya sama-sama mempunyai nilai ibadah sosial sebagai realisasi Prinsip ta’awun atau tolong menolong, kerjasama, gotong royong yang kalau dilandasi niat yang tulus akan meendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah. Prinsip-prinsip tersebut selain merupakan nilai-nilai Pancasila juga merupakan tuntutan dan ajaran Islam atau nilai-nilai yang Islami.
Sisi lain mengenai perbedaan zakat dan pajak adalah dari segi obyek dan sasarannya. Obyek dan sasaran zakat telah ditentukan oleh agama berdasarkan Nash Al-Qur’an dengaan pengenbangan berdasarkan ijtihad Fuqaha’.[17] Sedangkan pajak sasarannya ditentukan oleh Ulil Amri yang pada prinsipnya adalah sebagai penopang dana operasional progran-program pemerintah dan pembangunan yang manfaatnya secara umum juga kembali kepada rakyat atau masyarakat.
H.           Islam Memberi Wewenang Ulil Amri atau Pemerintah untuk Mengelola Zakat dan Pajak
Ulil Amri atau Pemerintah menurut pandangan Islam bertanggung jawab terhadap kesejahteraaan rakyatnya. Dalam kaitan ini, Islam memberi wewenang kepada Ulil Amri untuk mengatur, mengelola dan mentasarrufkan zakat sesuai dengan tuntutan dan petunjuk-petunjuk Islam. Demikian agar pensyaria’atan zakat yang antara lain dimaksud untuk membantu mereka yang lemah yang memerlukan dan pemerataan kesejahteraan sosial itu  benar-benar dapat direalisir. Untuk itu maka BAZIS yang kini telah berjalaan perlu dibina, dikembangkan dan ditingkatkanfungsi dan perannya. Hal ini menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.
Kewenangan mengatur dan mengelola zakat yang diberikan oleh Islam kepada Ulil Amri ini antara lain berdasarkanfirman Allah :
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Kemudian dalam kaitannya dengan masalah pajak maka berdasarkan uraian diatas, Islam memberikan hak dan kewenangan kepada Ulil Amri untuk mengaturnya pula. Hal ini tentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi, kebutuhan dan kemasahatan. Dalam kondisi negara telah kuat dananya, di mana tidak memerlukan lagi iuran dari rakyatnya, maka bagi pemerintah hukumnya mubah untuk menerapkan dan menarik pajak atau meniadakannya. Sebaliknya dalam kondisi di mana roda pemerintahan tidak mungkin jalan dan program pembangunan tidak bisa dilakukan kecuali apabila ditunjang dengan dana dan iuran dari rakyat maka hukum mengadakan dan menarik pajak bagi pemerintah bisamenjadi wajib.
I.                   Pemerintah R.I Menurut Pandangan Ilmu Fiqih
1.                  Menurut kajian Fiqih Siasah, pemerintahan atau negara atau wilayah terbagi menjadi dua, yaitu Darul Islam (pemerintah atau negara atau wilayah Islam) dan Darul Harbi (Pemerintahan atau negara atau wilayah non Islam). Pemerintah atau negara atau wilayah Islam ialah pemerintahan/negara/wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, atau minoritas Islam akan tetapi umat Islam dilindungi oleh pemerintah dan dijamin untuk mengamalkan ajaran agamanya, mengembangkan dan menyebarluaskannya. Pemerintahan atau negara atau wilayah yang umat Islamnaya minorotas atau mayoritas akan tetapi pemerintah tidak melindungi hak-haknya dan tidak memberi kebebasan untuk mengamalkan ajaran agamanya dan mengembangkannya.

2.                  Suatu perundang-undanganatau peraturan dapat dinilai sebagai islami apabila
dalam proses penyusunan dan pembuatannya serta isinya memenuhi kriteria prinsip-prinsip umum hukum Islam sebagai berikut :
a.         Musyawarah (dibicarakan bersama untuk mengambil kesepakatan)
b.        Raf’il Haraj (tidak memberatkan atau mempersulit)
c.         Mashalih Mursalah (memenuhi hajat atau kepentingan umum)
d.        Tahqiqul ‘Adaalah (menjamin terwujudnya keadlian)
3.  Perundang-undangan atau peraturan yang sanggup mengantarkan umat manusia kearah kemaslahatan dan menjauhkannya dari mafsadah atau kerusakan dapat dianggap sebagai perundang-undangan atau peraturan yang Islami sekalipun hal itu tidak ditunjakkan oleh satupun ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi:.
Di Indonesia mayoritas penduduuknya adalah beragama Islam. Mereka bukan saja dilindungi hak-haknya, tetapi juga dijamin berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, mengembangkan dan menyebarluaskannya (ingat pasal 29 UUD 1945). Bahkan lebih dari itu pemerintah malah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan, dan menyemarakkan syi’ar Islam. Demikian juga para pejabatnya sejak dari Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, Gubernur dan lain-lain mayoritas adallah beragama Islam. Atas dasar ini maka apabila dilihat dari konsepsi dan teori pertama di atas maka tidak diragukan lagi bahwa negara Republik Indonesia termasuk kategori Darul Islam ( Pemerintahan/negara/wilayah Islam).
Atas dasar itu maka terjawabkaah pertanyaan-pertanyaan di atas. Pemerintah Indonesia yang berdasrkan Pancasila dan UUD 1945 adalah termasuk Ulil Amri yang wajib ditaati ole setiap muslim. Pemerintah Indonesia diberi hak untuk mengatur dan meengelola masalah zakat untuk kesejahteraan umat dan kepadanya pula diberi hak untuk menetapkan undang-undang atau peraturan perpajakan yang wajib di patuhi oleh setiab warga negara yang beraga Islam.
Dari sini sekali lagi seperti telah disinggung diatas warga negara Indonesia yang beragama Islam menpunyai kewajiban ganda terhadap harta bendaa miliknya, yakni kewajiban zakat dan kewajiban pajak. Disinilah sebenernya nampak bagi kita betapa besar andil dan partisipasi umat Islam Indonesia dalam menyukseskan pfrogran-program pemerintah dan pembangunan.
Demikianlah apabila kita memandang dan mengkaji eksistensi pemerintah RI inilewat Fiqih Siasah. Akan tetapi kalau kita memandangnya dari sisi falsafah dan UUD-nya maka pemerintah Indonesia adalah negara nasional yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila atau lazim disebut negara Pancasila.
Kedudukan Pemerintahan Ri sepanjang kajian hukum Islam dalam hal ini FiqihSiaasah perlu dimantapkan. Demikian agar umat Islam Dapat mendudukkandirinyasecara tepat daalam ikut mengisi kemerdekaandamn mensyukseskan pembangunan yang antara lain menunjang suksesnya kewajiban pajak.    






















BAB III
METODOLOGY

Makalah ini menggunakan pendekatan teoritis. Pendekatan teoritis merupakan pendekatan yang menekankan pada unsur teori. Tidak hanya pendekatan teoritis tetapi juga menggunakan metode penelitian berdasarkan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang menggunakan data kualitatif (data yang berbentuk data, kalimat, skema, dan gambar) dan suatu pendekatan yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas social, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan utama, yaitu pertama, menggambarkan dan mengungkap (to describe and explore) dan keduan menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).
Kebanyakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan eksplanatori. Suatu pendekatan kualitatif dieksplorasi dan diperdalam dari suatu fenomena social atau suatu lingkungan social yang terdiri atas pelaku, kejadian, tempat, dan waktu. Fenomena yang diangkat dalam penelitian kualitatif menjadi bahan baru dan hasil penelitiannya memiliki kontribusi terhadap teori.[18] Penelitian ini bertujuan untuk menjawab “Bagaimana kolaborasi antara zakat dan pajak sebagai sumber dana bagi bangsa dan negara ?” Jika dikaitkan dengan definisi penelitian kualitatif sebagai penelitian yang mengeksplorasikan dan memperdalam, maka kata “bagaimana” sangat tepat untuk memberikan penjelasan atas fenomena yang diteliti.
Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber dimanfaatkan.[19] Jenis penelitian kualitatif studi kasus ini memungkinkan agar peneliti mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang sangat khusus.









BAB IV
ANALISIS MASALAH

Dari pembahasan yang telah di bahas, dapat ditemukan adanya hubungan harmonisasi antara zakat dan pajak, terdapat titik persamaan antara pajak dan zakat yaitu :
a.              Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, karena keimanan dan keislamannya belum kuat, di sini pemerintah islam akan memaksanya, bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka punya kekuatan.
b.             Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga kemasyarakatan (negara), pusat maupun daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan yang disebut dalam Quran : amil zakat (al amilin alaiha).
c.              Di antara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggita masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dalam zakat. Pezakat tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku anggota masyarakat islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan dan solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi kepentingan umat islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya.
d.             Apabila pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik di samping tujuan keuangan, amka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek yang disbeutkan tadi dan aspek-aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.
Dari beberapa uraian, dapat diketahu efek-efek zakat baik langsung maupun tidak langsung diantaranya yaitu :
Efek langsung
·               Ketika delapan (8) asnaf yang berhak mendapat zakat menerima zakat maka mereka akan langsung membelanjakan uangnya untuk mengkonsumsi barang sehingga hal ini memicu peningkatan pada MPC (keinginan untuk mengkonsumsi). Misalnya : Awalnya makan ubi menjadi makan beras.
Efek Tidak Langsung
·               Ketika ada salah satu dari delapan asnaf yang tidak langsung membelanjakan uangnya seperti Amil. Uang zakat yang diterima tersebut akan diproduksi atau di distribusikan untuk membuka usaha dan lain-lain sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang belum mendapat pekerjaan.
·               Jika Zakat dimisalkan sebagai vaiabel Z dan variable tersebut ditambah pada perhitungan pendapatan nasional (GNP) maka GNP = Y + C + I + G + (X-M) secara otomatis akan meningkat.
Misalnya, pertumbuhan negara 6 % ketika ditambahkan variable zakat ke dalam perhitungan pendapatan nasional maka akan bisa meningkatkan menjadi 6,5-7 %. Hal ini akan menimbulkan adanya multiplier effect (efek berganda) pada pendapatan nasional suatu negara (GNP).
Jadi kolaborasi pajak dan zakat sangat berperan penting dalam pembangunan ekonomi baik masyarakat maupun negara. Zakat bisa menjadi salah satu alternative untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pajak bisa menjadi salah satu alternative dalam peningkatan pembangunan nasional. Dirasakan adanya tuntutan publik untuk mengharmoniskan hubungan pajak dan zakat demi kesejahteraan rakyat. Sungguh sangat dapat difahami tuntutan publik untuk mendialogkan relasi antara pajak dan zakat serta peranannya dalam kesejahteraan masyarakat. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam objek penarikan, yaitu kekayaan atau penghasilan. Penarikan ganda -oleh pajak dan juga oleh zakat- pada dunia usaha akan dirasakan sebagai sebuah gangguan. Pada tataran eksistensi dan akomodasi, relasi zakat dan pajak relatif telah menimbulkan rasa puas. Setidaknya pembayaran zakat dapat mengurangi penghasilan kena pajak.
Untuk memudahkan harmonisasi ini, maka perlu di buat Undang-Undang tentang Zakat (bukan sebatas pengelolaan zakat saja, tapi tentang zakat itu sendiri) dan memasukkan zakat sebagai komponen kredit pajak dalam UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, juga dilakukan penerimaan zakat yang terpusat secara nasional ke Baznas. Penerimaan zakat yang terpusat akan memudahkan pengawasan oleh pemerintah dan rekonsiliasi pembayaran zakat oleh Direktorat Jenderal Pajak ketika zakat diakui sebagai kredit pajak. Hal ini bukan meniadakan peranan amil zakat yang tersebar di seluruh Indonesia, yang dipusatkan hanya penerimaan saja, ketika zakat didistribusikan tetap melibatkan amil-amil zakat yang lain.













BAB V
PENUTUP

A.            Kesimpulan
Dalam uraian paper ini, dapat disimpulkan beberapa pernyataan bahwa baik zakat maupun pajak hukumnya sama-sama wajib, perbedaan kewajiban zakat berdasarkan Nash Agama. Sedangkan kewajiban pajak berdasarkan Ijtihad Ulil Amri atau pemerintah atau penguasa. Warga Indonesia yang beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada Ulil Amri atau pemerintah yang juga diwajibkan oleh agama.
Hubungan antara zakat dan pajak adalah erat sekali. Kedua-duanya merupakan sumber dana kemsyarakatan meskipun penggunaan zakat lebih terbatas pada kemasyarakatan dalam lingkungan ukhuwah Imaniyah. Dalam lingkungan Imaniyah, zakat dimanfaatkan untuk pengamanan dan jaminan social, bantuan bagi musafir, santunan bagi yang tidak mampu, biaya pendidikan, latihan keterampilan, berkeluarga, bantuan karena bencana alam, modal koperasi, fakir miskin, modal simpan pinjam tanpa bunga dan lain-lain dalam batas yang tidak bertentangan dengan ketentuan delapan sanaf yang berhak menerima zakat.
Pajak tidak dapat mengganti zakat. Oleh karena itu, nisab zakat diperhitungkan dari total penghasilan bersih. Setelah dipotong biaya yang wajib dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan itu seperti pajak dan ongkos-ongkos, disamping kebutuhan pokok yang bersangkutan dan orang-orang yang wajib di tanggung nafkahnya. Sedangkan potongan yang nantinya kembali padanya, seperti tabungan pension, asuransi jiwa, kredit mobil dan lain-lain harus dimasukkan ke dalam jumlah nisab.

B.            Saran
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari terdapat banyak kesalahan dan kekurangan yang harus di perbaiki. Oleh karena itu, kami memohon kepada seluruh pembaca supaya bisa memberikan saran yang sifatnya membangun untuk kemajuan makalah ini kepada kami. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.











DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al Buny, Djamal’uddin.1983.Problematika Harta dan Zakat. Surabaya : Bina Ilmu
Wiwoho B, dkk.1991.Zakat dan Pajak. Jakarta : Bina Rena Pariwara
Proyek Pembinaan zakat dan wakaf.1986.Pedoman Zakat. Jakarta : PT Cemara Indah
Qardawi, Yusuf. 2004. Hukum Zakat.Jakarta : Litera AntarNusa




[1] Mu’jam Wasith, juz 1 hal 398
[2] Al-Majmu’, jilid 5 : 324
[3] Kumpulan fatwa “syekh, islam Ibnu Taimiah, jilid 25:8.
[4] Riwayat Ahmad dan Muslim
[5] Fiqhuz Zakah, 1/290 
[6] HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1459, katanya: shahih. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7242 , Ad Daruquthni No. 15
[7] HR. Bukhari No. 1484, Muslim No. 979Lima
[8] Fiqhus Sunah, 1/374
[9] Tafsir Ibnu Katsir III: 238-239
[10] Isytirikijah Islam Dr. Assiba’I (Damsik).
[11] Al ihya, jilid 1, hal. 193, cet. Al-halabi.
[12] Hadits riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Tabrani dari Sahl bin Said. Imam Sayuthi memberikan rumus pada hadis ini dengan rumus dhaif. Imam Mundziri mengisyaratkan kedhaifan hadits ini dalam at-Targhib.
[13] Tafsir ar-Razi, hal. 101
[14] Seorang Sosiolog ahli politik sejarahwan dan filsuf social islam (1332-2406)
[15] Syakhul Hadi, pendayagunaan zakat di samping pajak dalam rangka pembangunan nasional, hal. 107
[16] Ikhtiar atau hasil pemikiran
[17] Ijtihad para ahli fiqih
[18] Satori dan Komariah, 2010:24
[19] Menurut Yin (2009:18)

Hamonisasi Zakat dan Pajak

0


BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, suatu masyarakat sekarang hidup dalam dua macam kepemimpinan. Pimpinan formal dan pemimpin non formal. Formal adalah Pemerintah, mulai dari presiden, menteri, dirjen, gubernur, bupati, camat, dan seterusnya. Non formal adalah tokoh- tokoh masyarakat, alim ulama, pemimpin dari berbagai agama lainnnya. Sejarah perjuangan kemerdakaan membuktikan adalah berkat peran serta penuh dari tokoh agama, yang berhasil menggerakkan umat dan rakyat untuk melibatkan diri di dalam perjuangan kemerdakaan itu.
Dalam Negara yang merdeka dan membangun seperti sekarang ini, tidak berlebihan jika dikatakan suatu program pemerintah yang perlu melibatkan rakyat, tidak mungkin terlaksana tanpa keikutsertaan tokoh agama, khususnya alim ulama. Sebaliknya kalau tokoh yang merupakan informal leader atau non formal leader ikut berperan serta aktif, karena itu merupakan jaminan.
Untuk keberhasilan pembangunan, kita harus memobilisasi fund and forces, dana dan kekuatan. Di dalam Negara yang sudah berkembang, dana dari pajak sangat tinggi sehingga mereka dapat mandiri, tidak bergantung kepada dana dari luar. Di Indonesia, jika menginginkan mengurangi ketergantungan kita kepada bantuan luar negeri, antara lain jalan satu-satunya ialah menigkatkan pendapatan pajak.  Tetapi pada kenyataannya jika pajak dinaikkan terlalu tinggi banyak sebagian dari masyarakat menolak atas kenaikan tersebut. Disinilah peran serta para ulama untuk ikut serta dalam mobilisasi dana melalui sistem lainnya dengan tetap mempertahankan pula sistem perpajakan yaitu zakat.
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengaitkan antara shalat dan zakat. Itu suatu tanda bukti  tentang betapa pentingnya zakat di dalam Islam. Dan dari lima Rukun Islam, yang mempunyai aspek social kemasyarakatan hanya zakat. Jadi zakat merupakan intregated part atau bagian yang tidak terpisahkan dari agama kita. Masalah yang sering timbul di dalam soal zakat adalah kurangnya kepercayaan dari rakyat dan masyarakat kepada badan pengelola itu sendiri. Sebab sering pengurus jadi urusan. Maka kita perlukan satu badan yang mempunyai intregitas dan dipercaya oleh umat.
Tidakkah terpikirkan apabila pajak dan zakat sama-sama dilaksanakan, maka kemungkinan besar akan menjadi dampak yang baik bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk negara terutama dalam hal APBN (Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara) dan juga meminimalisir adanya deficit budget anggaran negara.

B.            Rumusan Masalah
Bagaimana harmonisasi zakat dan pajak dapat mengatasi permasalahan ekonomi dalam suatu negara dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup umat melalui kajian teoritis.

C.            Tujuan
Untuk mengetahui salah satu cara  pemecahan masalah ekonomi dalam suatu negara terutama negara islam dengan cara penerapan zakat dengan mempertahankan efisiensi penggunaan pajak yang diterapkan oleh pemerintah sehingga terciptanya harmonisasi antara zakat dan pajak sebagai sumber dana masyarakat (umat) dan negara.

BAB II
PEMBAHASAN
A.            Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang - sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:
1.             Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2.             Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3.             Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4.             Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
5.             Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara atau Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur atau regulatif).
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
·                Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

·                Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
·                Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
·                Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

B.            Zakat
Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zakat yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik.[1] Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seorang itu zaka, berarti orang itu baik. Menurut lisan al-Arab arti dasar dari kata zakat, ditinjau dari sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan  terpuji. Semuanya digunakan di dalam Quran dan hadits.
Tetapi yang terkuat, menurut Wahidi dan lain-lain, kata dasar Zaka berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu Zaka, artinya tumbuh, sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut Zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka di sini berarti bersih.
Dan bila seseorang diberi sifat zaka dalam arti baik, maka berarti orang itu lebih banyak mempunyai sifat yang baik. Seorang itu zaki, berarti seorang yang memiliki lebih banyak sifat-sifat orang baik, dan kalimat “hakim-zaka-saksi” berarti hakim menyatakan jumlah saksi-saksi diperbanyak.
Zakat dari segi istilah fikih berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak” di samping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu” menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan,” demikian Nawawi mengutip pendapat Wahidi.[2]
Ibnu Taimiah berkata, “jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya.[3] Arti “tumbuh” dan “suci” tidak dipakaikan hanya buat kekayaan, tetapi lebih dari itu, juga buat jiwa orang yang menzakatkannya, sesuai dengan firman Allah suart At-Taubah ayat 103 :
 “pungutlah zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan sucikan mereka dengannya”.
 Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam. Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan sebuah kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun.
Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
·                Zakat fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan suci Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.

·                Zakat maal (harta)
Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak merupakan tambang elok, Allah memberi padanya banyak manfaat yang tak terdapat pada aneka tambang lain. Lantaran kelangkaan dan keindahannya, bangsa manusiia telah menjadikannya uang dan nilai tukar bagi segala sesuatu sejak kurun-kurun lalu.
Dari sisi ini, syariat memandang emas dan perak dengan pandangan tersendiri, dan mengibaratkannya sebagai suatu kekayaan alam yang hidup. Syariat mewajibkan zakat keduanya jika berbentuk uang atau leburan logam, dan juga jika berbentuk bejana, souvenir, ukiran atau perhiasan bagi pria.
Adapun jika dipakai sebagai perhiasan bagi wanita, maka hukumnya menjadi lain, yang dalam hal ini para fuqaha berbeda paham. Untuk hal ini, zakat emas dan perak terbagi ke dalam dua pembahasan yaitu : zakat uang dan persyaratan-persyaratannya, dan zakat perhiasan dan hadiah berikut perincian dan perbedaan pendapat tentangnya.
1. Zakat uang
Sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum muslimin atas kewajiban zakat uang, maka mereka pun bersepakat atas ukuran kewajiban pengeluaran zakatnya. Disebutkan dalam al-mughni, bahwa tidak ada perbedaan pendapat ulama, bahwa zakat emas dan perak adalah dua setengah (2 ½ %), seperti yang telah ditetapkan dalam hadits Rasulullah “pada riqqah 2 ½ %”.
Dalam hal ini syariat telah meringankan ukuran. Syariat tidak menjadikannya 10% atau 5% umpamanya, seperti dalam zakat tanaman dan buah-buahan, karena tanam-tanaman dan buah-buahan, dalam kaitannya dengan bumi merupakan untung bagi pemilik harta. Maka seolah-olah zakat padanya merupakaannya pajak atas keuntungan pemelihara. Berbeda dengan zakat uang, maka ia merupakan smacam pajak atas pemiliknya baik untung maupun rugi.
Dalam hadits ‘muttafaq ‘alaih’ disebutkan “tidak ada pada selain 5 awqiyah sedekah (zakat)”[4]. Dalam surat Al-Kahfi : “Maka suruhlah salah seorang diantara kamu ke kota dengan membawa uang perakmu.” Kata ‘warq’ dalam hadits ini berarti dirham. Awqiyah seperti kita ketahui adalah 40 dirham, sesuai dengan nash yang masyhur dan kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana Nawawi berkata : lima uqiyah sama dengan 200 dirham.
Terbukti bahwa uang perak banyak beredar dan dipakai di kalangan orang-orang Arab pada masa Nabi. Oleh karena itu, hadits-hadits yang masyhur menyebutkannya dan menetapkan ukuran zakat yang dikeluarkan dan jumlah nisabnya. Maka menjadi jelaslah yakni 200, atau nisab perak adalah 200 dirham. Hal ini tidak menjadi pendapat ulama islam. Adapun uang emas (dinar) tidak terdapat dalam hadits tentang nisabnya sekuat hadits tentang perak. Oleh karena itu, nisiab emas belum mencapai kesepakatan seperti halnya perak. Hanya para jumhur terbesar dari fuqaha berpendapat bahwa nisab emas adalah 20 dinar.

2. Zakat perhiasan dan hadiah
Diantara pemakaian yang diharamkan adalah ada unsur berlebih-lebihan yang menyolok perhiasan seorang perempuan. Hal itu dapat diketahui dengan penyimpanan seorang perempuan tersebut dari kebiasaan lingkungan, zaman dan kekayaan umatnya. Jika perhiasan tersebut dipersiapkan untuk pemakaian yang mubah seperti perhiasan perempuan yang tidak berlebih-lebihan, dan apa yang dipersiapkan untuk mereka, serta cincin perak seorang laki-laki maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena perhiasan tersebut tidak merupakan harta yang berkembang,, karena merupakan diantara kebutuhan-kebutuhan manusia dan perhiasannya seperti pakaiannya, peralatannya dan kenikmatannya dan telah dipersiapkan untuk pemakaian yang mubah maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya seperto binatang yang dipekerjakan seperti unta dan sapi.
Tidak ada perbedaan antara perhiasan mubah tersebut dimiliki oleh seorang perempuan dan dipakainya sendiri atau dipinjamkan dengan perhiasan tersebut milik seoarng laki-laki dan dipakainya sendiri atau dipinjamkannya atau dipersiapkan untuk itu.  Yang wajib dizakati dari perhiasan atau tempat-tempat atau museum adalah sebesar ukuran mata uang dan dikeluarkan zakatnya, sebanyak 2 ½ % setiap tahunnya dengan hartanya yang lain jika memiliki.
Hal ini dengan syarat mencapai nisab, yaitu 85 % gram emas, yang mu’tabar dadalah nilainya dan bukan ukurannya. Karena perbuatannya mempunyai pengaruh terhadap penambahan nilainya.



Zakat binatang ternak
Dunia binatang amat luas dan banyak tetapi yang berguna bagi manusia hanya sedikit yaitu unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri. Binatang-binatang tersebut telah dianugerahkan Allah kepada hamba-hambaNya dan manfaatnya banyak diterangkan dalam ayat-ayat suci Quran. Allah berfirman :
(Q.S Surat Quran An-Nahl : 5-7) :
Artinya : Dan dia Telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ayat lain, firman Allah : (Qur’an surat An-Nahl :80) :
Artinya : Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
Ayat lain lagi, firman Allah : (Qur’an surat An-Nahl :66) :
Artinya : Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
Dan juga firman Allah : (Qur’an surah Yasin : 71-73) :
Artinya : Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya kami Telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang Telah kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri, lalu mereka menguasainya? Dan kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; Maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
Binatang-binatang ternak itu semuanya diciptakan Allah untuk kepentingan manusia, antara lain untuk ditungganginya sebagai kendaraan dimakan dagingnya, diminumnya susunya dan diambil bulu dan kulitnya. Oleh karena itu pantaslah Allah meminta para pemilik binatang itu bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkanNya kepada mereka.
Realisasi  konkrit dari syukur tersebut sesuai denagn tuntunan Qur’an dan hadits Nabi adalah “zakat” beserta batasan tentang nisab dan besar yang wajib dikeluarkan dan pengiriman para petugas pemungut zakat setiap tahun kepada mereka yang wajib berzakat serta ancaman siksaan di dunia dan azab di akhirat bagi orang-orang yang tidak mau berzakat.
Binatang ternak khususnya unta merupakan harta yang paling berharga dan paling anyak digunakan bagi orang Arab. Oleh karena itu, ditentukan berapa nisab dan besar zakat yang harus dikeluarkan. Dan banyak negara di dunia sumber pendapatannya yang utama adalah ternak dengan jumlah ternak mencapai jutaan ekor. Di antara negara-negara itu misalnya Sudan, Somali, Ethiopia dan lain-lain.
Zakat perniagaan
Ini adalah pandangan jumhur ulama sejak zaman sahabat, tabi’in, dan fuqaha berikutnya, tentang wajibnya zakat harta perniagaan, ada pun kalangan zhahiriyah mengatakan tidak ada zakat pada harta perniagaan. Zakat ini adalah pada harta apa saja yang memang diniatkan untuk didagangkan, bukan menjadi harta tetap dan dipakai sendiri. 
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah mengatakan tentang batasan barang dagangan:Seandainya seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri seperti mobil yang akan dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan nanti dia akan menjualnya, maka itu juga bukan termasuk barang tijarah (artinya tidak wajib zakat, ). Hal ini berbeda dengan jika seseorang membeli beberapa buah mobil memang untuk dijual dan mengambil keuntungan darinya, lalu jika dia mengendarai dan menggunakan mobil itu untuk dirinya, dia menemukan adanya keuntungan dan menjualnya, maka apa yang dilakukannya yaitu memakai kendaraan itu tidaklah mengeluarkan status barang itu sebagai barang perniagaan. Jadi, yang jadi prinsip adalah niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, dia tidak meniatkan untuk menjual dan mencari keuntungan, maka hal itu tidak merubahnya menjadi barang tijarah walau pun akhirnya dia menjualnya dan mendapat keuntungan. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat merubah barang dagangan menjadi barang yang dia pakai sendiri, maka niat itu sudah cukup menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan statusnya sebagai barang dagangan, dan masuk ke dalam kategori milik pribadi yang tidak berkembang.[5]
Zakat buah-buahan
Para fuqaha sepakat atas kewajiban zakat tanaman dan buah-buahan. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam jenis tanaman dan buah apa saja yang dizakatkan. Secara ringkas sebagai berikut: Zakat tanaman dan buah-buahan hanya pada yang disebutkan secara tegas oleh syariat, seperti gandum, padi, biji-bijian, kurma dan anggur, selain itu tidak ada zakat. Ini pendapat Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Sufyan Ats Tsauri, dan Imam Asy Sya’bi. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy Syaukani.
Pendapat ini berdasarkan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari ketika mereka diutus ke Yaman: “Janganlah kalian ambil zakat kecuali dari empat macam: biji-bijian, gandum, anggur kering, dan kurma. [6]
Nishabnya adalah jika hasilnya sudah mencapai 5 wasaq, sebagaimana disebutkan dalam hadits: Tidak ada zakat pada apa-apa yang kurang dari lima wasaq.[7] Wasaq adalah enam puluh sha’ berdasarkan ijma’, dan satu sha’ adalah empat mud, lalu satu mud adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang dewasa. Dr. Yusuf Al Qaradhawi telah membahas ini secara rinci dalam kitab monumental beliau, Fiqhuz Zakah, dan menyimpulkan bahwa lima wasaq adalah setara dengan +/- 653 Kg. 
Zakat rikaz (barang temuan dan barang tambang
Rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya seperlima adalah semua yang berupa harta seperti emas, perak, besi, timah, tembaga, bejana, dan yang semisalnya. Inilah pendapat Hanafiyah, Hanabilah, Ishaq, Ibnul Mundzir, satu riwayat dari Malik, salah satu pendapat dari Asy Syafi’i. Pendapat yang lain: bahwa seperlima tidaklah wajib kecuali pada mata uang: yaitu emas dan perak.[8] Zakat rikaz dikeluarkan tanpa menunggu haul, tapi dikeluarkan ketika menemukannya, juga tidak ada nishab. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas).
Zakat Profesi
Ini adalah jenis zakat yang diperselisihkan para ulama. Hal ini sama dengan sebagian zakat lainnya, seperti zakat sayur-sayuran, buah-buahan selain kurma, dan zakat perdagangan. Sebagian kalangan ada yang bersikap keras menentang zakat profesi, padahal perbedaan seperti ini sudah ada sejak masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat tentang ada tidaknya zakat sayuran, buah, dan perdagangan tersebut. Seharusnya perbedaan pendapat yang disebabkan ijtihad seperti ini tidak boleh sampai lahir sikap keras apalagi membid’ahkan. 
Mereka yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, memandang ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:
- Profesi yang dengannya menghasilkan uang, termasuk kategori harta dan kekayaan.
- Kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan bertambah, tidak tetap, ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk disewakan. Dilaporkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab, walau tanpa haul.
- Selain itu, hal ini juga diqiyaskan dengan zakat tanaman, yang mesti dikeluarkan oleh petani setiap memetik hasilnya. Bukankah petani juga profesi? Sebagian ulama menolak menggunakan qiyas dalam masalah ini, tetapi pihak yang mendukung mengatakan bukankah zakat fitri dengan beras ketika zaman nabi juga tidak ada? Bukankah nabi hanya menyontohkan dengan kurma dan gandum? Saat ini ada zakat fitri dengan beras karena beras adalah makanan pokok di Indonesia, tentunya ini juga menggunakan qiyas, yakni mengqiyaskan dengan makanan pokok negeri Arab saat itu, kurma dan gandum. Jadi, makanan apa saja yang menjadi makanan pokok-lah yang dijadikan alat pembayaran zakat. Jika mau menolak, seharusnya tolak pula zakat fitri dengan beras yang hanya didasarkan dengan qiyas sebagai makanan pokok.
Tabel 1. Perhitungan Nisab dan kadar yang wajib dizakati
No
Benda Wajib Zakat
Nishab
Zakat
1.
Uang Tunai
86 gram atau 595 gr Perak atau 20 dinar atau 200 dirham
2,5 %
2.
Perdagangan
3.
Emas dan Perak
4.
Tambang atau Mineral
5.
Saham atau Obligasi atau Pendapatan
6.
Pertanian
5 wasq atau 652,8 Kg


·         irigasi
5 %

·         Tadah Hujan
10 %

·         Campuran
7,5 %
7
Barang Temuan
Tidak ada nishab
20 %
8
Binatang Ternak



·         Kambing atau domba
40 ekor
2 kambing jantan 1 tahun atau 1 kambing betina 1 tahun

·         Sapi atau Kerbau
30 ekor
1 sapi 1 tahun

·         Unta atau Kuda
5 ekor
2 kambing jantan 1 tahun atau 1 kambing betina 1 tahun

C.            Zakat sebagai suatu sistem
Dalam harta perbendaharaan Islam, kekayaan setiap anggota masyarakat wajib dikesampingkan bagian-bagian tertentu, lalu digunakan untuk kemajuan da kesejahteraan masyarakat sebagai suatu sistem social yang diwujudkan dalam bentuk semacam pemungutan uang yang disebut zakat.
·               Anggaran Belanja Islam
Zakat itu sendiri bermakna : Mensucikan dan Menyuburkan, Berkembang dan Berlipat Ganda.
Hasil zakat wajib diberikan sebagai suatu bagian dari anggaran perbelanjaan Islam untuk obyek-obyek pembangunan yang spesifik. Zakat sebagai suatu sistem kontribusi keuangan adalah tugas wajib tiap pribadi muslim yang dikeluarkan seperempat puluhnya dari seluruh harta kekayaan. Ia menjadi wajib yang mutlak bagi setiap muslim yang mampu dan sudah sampai tahun pengeluarannya, untuk kesejahteraan masyarakat dan negara.[9]
Kewajiban zakat ini mempunyai kedudukan yang potensial dalam harta perbendaharaan islam. Yang wajib diselamatkan untuk kepentingan perjuangan islam pada semua aspek kehidupan masyarakat. Hukum syara’ Islam menentukan bahwa zakat itu adalah milik bersama kaum muslimin. Wajib disalurkan dalam bentuk-bentuk tertentu, untuk menjamin kemakmuran bersama. Tidak ditunda sesaat pun apabila telah sampai waktu pengerluarannya. Bahkan dalam keadaan yang luar biasa, zakat itu perlu dikeluarkan walaupun belum sampai tahun perhitungannya.
Peranan utama yang dapat diambil dari harta zakat ialah untuk kemakmuran seluruh warga. Inilah tujuan-tujuan suci dan maksud Allah memerintahkan wajib zakat. Harta islam dilarang beredar dalam lingkungan tertentu saja. Tetapi dengan makna hakiki islam itu harus menjadi milik bersama masyarakat, dalam ketentuan-ketentuan hukum yang positif. Karena dalam hartu kaum muslimin itu terdapat kewajiban individu menginfakkan hartanya atas dasar mentaati perinta syara’. Dan hak masyarakat untuk mengambil bagian tertentu dari harta tersebut atas dasar hukum syara’ Islam.
·               Lembaga saving islam
Amir Syakib Arselan dalam kitabnya “Hadhirul Alamil Islamy” menulis sebagai berikut : “ajaran zakat adalah asas yang maha pentiing dalam sistem kemasyarakatan islam”.
Zakat adalah saudara kembarnya shalat. Dengan mempraktekkan zakat secara efektif dan teratur baik umat islam dapat menghapuskan kemelaratan, dan menghindarkan pertentangan dalam hidup umat manusia. Sebaliknya apabila umat islam lalai menunaikan kewajiban zakat, maka masyarakat mereka akan terancam oleh gerakan sosialisme, dan komunisme di satu pihak, sedangkan di pihak lain negara mereka akan dokoyak-koyak oleh negara-negara kapitalisme yang akan menguasai ekonomi dan perdagangan mereka. Ibarat tali yang direntangkan untuk tempat berpegang, tetapi di samping itu di suatu kesempatan baik dibelitkan pada jasad negara it utundiri. Sungguh kita tidak menemui alat pertahanan apapun yang dapat melindungi islam dari bahaya yang sedang mengancam itu, kecuali dengan membangun kembali kewajiban zakat menurut sistem yang diajarkan islam, dengan syarat diurus oleh suatu departemen atau paling kurang satu lembaga bagi masyarakat islam.”
Peraturan zakat memaksakan kepada pemilik-pemilik harta, para saudagar dan orang-orang yang mampu, untuk mengeluarkan dengan ukuran-ukuran yang sudah ditentukan, dipergunakan oleh pemerintah buat menolong warganya yang melarat dan lemah.  Zakat itu juga memerlukan tabir pembatasan antara golongan-golongan pemerintah, dan menjadikan rakyat bersatu dalam lingkaran kemasyarakatan yang adil dan merata.[10]
Amir Syakib ataupun Marx Wilhem menegaskan zakat itu harus tersusun dalam organisasi atau lembaga yang teratur rapi. Sistem itu mempertegaskan pula hakekat amil dalam zakat itu sendiri, yang langsung merupakan satu lembaga, yang akan melaksanakan tugas-tugas zakat. Zakat dengan sutau organisasi yang teratur akan merupakan lembaga saving yang mempunyai arti moneter yang cukup besar serta dana investasi jangka menengah dan jangka panjang.
Investasi yang kelak akan terbagi dalam daerah-daerah permoalan dari pekerjaan-pekerjaan perseorangan, sampai kepada usaha-usaha kecil dalam masyarakat.  Dana perjuangan akan terhimpun secara berimbang dan merata dalam pembangunan-pembangunan dan amal-amal social lainnya.

D.           Tujuan Zakat dan dampaknya pada kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat
·               Tujuan zakat dan dampaknya pada kehidupan pribadi
1.             Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir
Zakat yang dikeluarkan si Muslim semata karena menurut perintah Allah dan mencari ridhaNya, akan mensucikannya dari segala kotoran doosa secara umum dan terutama kotornya sifat kikir. Sifat kikir yang tercela itu, yang merupakan tabiat manusia, yang dengannya manusia itu diuji, karenanya Allah SWT sebagai rasa sayangNya kepada manusia, menanamkan cara-cara untuk menghilangkan tabiat dan watak itu.
Manusia digiringnya untuk bekerja dan meramaikan bumi ini, sehingga timbullah rasa keinginan untuk memiliki, keinginan pada sesuatu benda dan keinginan untuk tetap memiliki selama-lamanya. Sebagai akibatnya timbullah rasa kikir pada diri manusia terhadap apa yang ada pada dirinya, lebih mementiingkan diri sendiri terhadap hal-hal yang baik dan bermanfaat daripada orang lain, sebagaimana firmanNya surat al-israa ayat 100 “Dan adalah manusia itu sangat kikir”, surat al-ma’arij ayat 19 yang artinya “Manusia itu tabiatnya adalah kikir”.
Maka bagi manusia yang tinggi nilainya atau manusia Mu’min, wajib berusaha mengatasi sifat mementingkan diri sendiri  dan sifat keakuannya, berusaha menghilangnya sifat-sifat kikir itu dengan rasa keimanannya.

2.             Zakat mendidik berinfak dan memberi
Sebagaimana halnya zakat mensucikan jiwa si Muslim dari sifat kikir, ia pun mendidik agar si Muslim mempunyai rasa ingin memberi, menyerahkan dan berinfak. Si muslim bersiap-siap untuk berinfaq dan mengeluarkan zakat tanamannya apabila panen, pendapatan apabila ada, zakat hewan ternaknya, uang dan harta pedagangnya, apabila dating tahun, dan mengeluarkan zakat fitrahnya pada setiap hari raya idul fitri.
Dengan ini jadilah memberi dan berinfak sifat dan akhlak utama bagi dirinya. Atas dasar itu pula, maka akhlak yang semacam ini merupakan sifat-sifat dari Mu’min muttakin dalam pandangan Quran.

3.             Berakhlak dengan akhlak Allah
Manusia apabila sudah suci dari kikir dan batil, dan sudah siap untuk memberi dan berinfak, akan naiklah ia dari kekotoran sifat kikirnya, sebagaimana firman Allah :
“dan adalah manusia itu sangat kikir.” (Al-Quran Surat Al-Israa  : 100)
Dan ia hampir mendekati kesempurnaan sifat Tuhan, karena salah satu sifatNya adalah memberikan kebaikan, rahmat, kasih saying dan kebajikan, tanpa ada kemanfaatan yang kembali kepadaNya. Berusaha untuk menghasilkan sifat-sifat ini, sesuai dengan kemampuan manusia, adalah berakhlak dengan akhlak-Allah dan itulah ujung dari kesempurnaan nilai kemanusiaan.

4.             Zakat merupakan manifestasi syukur atas nikmat Allah
Sebagaimana dimaklumi, dapat diterima oleh akal, diakui oleh fitrah manusia, diseur oleh akhlak dan moral serta diperintahkan oleh agama dan syariat, adalah bahwa pengakuan akan keindahan dan syukur terhadap nikmat itu, merupakan sesuatu keharusan. Zakat akan membangkitkan bagi orang yang mengeluarkannya makna syukur kepada Allah SWT, pengakuan akan keutamaan dan kebaikanNya, karena sesungguhnya Allah SWT sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ghazali, senantiasa memberikan nikmat kepada hambaNya, baik yang berhubungan dengan diri maupun hartanya.
Ibadah badaniah merupakan pembuktiannya rasa syukur terhadap segala nikmat badan dan ibadah harta merupakan pembuktian rasa syukur terhadap nikmat harta. Alangkah ruginya orang yang mengetahui adanya orang fakir yang sempit rizkinya, yang sangat membutuhkan, kemudian orang itu tidak menundukkan nafsunya untuk bersyukur kepada Allah dengan memberi kepada orang yang meminta dengan 2 ½ % atau 10 % dari hartanya.[11]
Di antara hal yang perlu difikirkan dan dirasakan secara mendalam oleh fikiran dan perasaan kaum Muslimin, adalah bahwa zakat itu merupakan bandingan terhadap nikmat, sehingga setiap nikmat itu mesti diikuti dengan zakat oleh manusia, apakah nikmat itu bersifat materi atau ruhani. Masyhur di kalangan kaum muslimin ucapan : “zakatilah kesihatanmu, zakatilah mata dan penglihatanmu, zakatilah ilmumu, zakatilah keberhasilan anakmu dan seterusnya. Ini adalah suatu pengarahan yang tepat dan indah. Diriwayatkan dalam sebuah hadits : “segala sesuatu itu ada zakatnya”[12]
5.             Zakat mengobati hati dari cinta dunia
Zakat dari segi lain, merupakan suatu peringatan terhadap hati akan kewajibannya kepada Tuhannya dan kepada akhirat serta merupakan obat, agar hati jangan tenggelam kepada kecintaan dunia, sebagaimana dikemukakan oleh ar-Razi, dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akhirat. Dengan adanya syariat memerintahkan pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian harta dari tangannya, maka diharapkan pengeluaran itu dapat menahan kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap harta, menahan agar jiwa tidak dikuasainya dan memberikan peringatan bahwa kebahagian hidup itu tidaklah akan tercapai denagn penundukkan jiwa terhadap harta, akan tetapi justru kebahagiaan itu bisa dicapai dengan menginfakkan harta, dalam rangka mencari ridha Allah. Maka kewajiban zakat itu merupakan obat yang pantas dan tepat dalam rangka mengobati hati agar tidak cinta dunia secara berlebih-lebihan.[13]

6.             Zakat mengembangkan kekayaan batin
Diantara tujuan pensucian jiwa yang dibuktikan oleh zakat, ialah tumbuh dan berkembangnya kekayaan batin dan perasaan optimism. Sesungguhnya orang yang melakukan kebaikan dan makruf serta menyerahkan yang timbul dari dirinya dan tangannya untuk membangkitkan saudara seagama dan sesame manusia dan menegakkan hak Allah pada orang itu, maka orang tersebut akan merasa besar, tegar dan luas jiwanya serta merasakan jiwa orang yang diberinya seolah-olah berada dalam suatu gerakan.

·               Tujuan zakat dan dampaknya pada kehidupan masyarakat
1.             Zakat dan tanggung jawab social
Pada sasaran ini ada yang bersifat identitas social, seperti menolong orang yang mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang lemah, seperti fakir, miskin, orang yang berutang dan ibnu sabil. Zakat adalah salah satu bagian dari aturan jaminan social dalam islam, dimana aturan jaminan social ini tidak kenal Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit, yaitu jaminan pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir.

2.             Zakat dan segi ekonominya
Telah diisyaratkan pada bagian yang lalu, bahwa zakat dilihat dari segi ekonomi adalah merangsang si pemilik harta kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari mereka. Ini terutama jelas sekali pada zakat mata uang, dimana islam melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan pengembangan. Dalam hal ini ada ancaman Allah :
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih” (Quran surat At-Taubah :34)
Tentu tidaklah cukup dengan sekedar ancaman yang berat ini, akan tetapi islam mengumumkan perang dalam praktek terhadap usaha penumpukkan dan membuat garis yang tegas dan bijaksana untuk mengeluarkan uang dari kas dan simpanan. Hal itu tercermin ketika islam mewajibkan 2 ½ % dari kekayaan uang, apakah diusahakan oleh pemiliknya atau tidak. Dengan demikian, maka zakat itu merupakan suatu cambuk yang bisa mengiring untuk mengeluarkan uang agar diusahakan, diamalkan dan dikembangkan sehingga tidak habis dimakan waktu.
3.             Zakat dan tegaknya jiwa umat
Di atas itu semua, bahwa zakat itu mempunyai sasaran-sasaran dan dampak-dampak dalam menegakkan akhlak yang mulia yang diikuti dan dilaksanakan oleh umat islam serta dalam memelihara ruh dan nilai yang ditegakkan oleh umat, diibangun kesadarannya dan dibedakan dengan itu kepribadiannya.

E.            Titik persamaan antara zakat dan pajak
Dari kedua definisi, jelas bagi kita, bahwa di sana terdapat titik persamaan dan titik perbedaan antara pajak dan zakat. Kami akan mulai dengan titik persamaan tersebut.
a.              Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, karena keimanan dan keislamannya belum kuat, di sini pemerintah islam akan memaksanya, bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka punya kekuatan.
b.             Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga kemasyarakatan (negara), pusat maupun daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan yang disebut dalam Quran : amil zakat (al amilin alaiha).
c.              Di antara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggita masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dalam zakat. Pezakat tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku anggota masyarakat islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan dan solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi kepentingan umat islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya.
d.             Apabila pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik di samping tujuan keuangan, amka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek yang disbeutkan tadi dan aspek-aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.

F.             Sistem Pajak dalam Islam
Jauh sebelum Islam datang, sistem perpajakan telah lama dikenal oleh sejumlah umat manusia. Sejarah perpajakan dimulai dariadanya orang-orang yang menganggap bahwa tanah atau bumi adalah milik raja. Kepercayaan semacam ini telah lama berlaku sejak zaman dahulu kala. Dalam kitab perpajanjian lama (Taurat) disebutkan prosedur masuknya bumi dalam milik Fir’aun di Mesir. Dalam pasal 47 Kitab Kejadian diceritakan bahwa pada saat terjadi kelaparan hebat, pendududk Mesir Menjual segala macam harta bendanya, termasuk tanah bahkan dirinya kepada Fir’aun untuk mendapatkan gandum. Tanah-tanah itu kemudian digarap kembali oleh pemiliknya dengan benih Fir’aun kemudian sebagai imbalannya seperlima dari hasilnya dipersembahkan kepada Fir’aun.
Abdul Khaliq al-Nawawi dalam bukunya al-Nidham al-Malifi al-Isam menyebutkan bahwa Raja Ramsis II membaagi-bagikan tanah Mesir kepada penduduk. Tiap-tiapanggota keluarga memperoleh sebidang tanah dan sebagi gantinya atau imbalannya dikenakan kharaj atau pajak bumi., yang harus dibayarkan tiap-tiap tahun. Kharj ini sudah dikenal pada masa-masa Raja Ptolemen, Bizantine/Bizantium, Rumawi dan Persia.
Ibnu Khaldun[14] menyebutkan kata-kata Raja Anu Syirwan tentang pajak yang berbunyi : “Kerajaan bertumpu pada angkatan bersenjata; angkatan bersenjata bersangga pada harta benada; harta benda bertopang pada pajak; dan ditunjang oleh pembangunan”.[15] Tradisi pajak ini rupanya terus berlanjut sampai zaman raja-raja Arab pra Islam. Setelah Islam datang sistem pajak yang ternyata banyak manfaat dan maslahatnya ini eksistensinya diakui, dibenarkan dan disempurnakan. Di dalam Islam ada beberapa macam pajak di antaranya :
1.        Pajak harta kekayaan yang penetapan kewajibannya langsung Syari’ atau Allah SWT, yaitu zakat. Halini hanya dikenakan kepada orang-orang Islam saja.
2.        Jizyah, yaitu pajak yang dikenakan kepada kafir Dzimmi, yaitu non muslim yang hidup dinegara/ Pemerintahan Islam dengan mematuhi peraturan dan perundang-undangan pemerintahan Islam. Sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam kepada mereka mengenai jiwa, keselamatan, kemerdekaan, dan hak-hak azasi mereka, maka mereka dikenakan jizyah  atau pajak kepala. Dalam menghadapi negara/ wilayah non Islam ada tiga alternatif yang ditawarkan oleh Islam, yaitu masuk Islam, membayar jizyah atau diperangi. Bagi yang mau masuk Islam maka mereka aman, tidak diperangi dan tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang tidak mau masuk Islam ada dua pilihan, yaitu membayar jizyah atau diperangi.
3.        Kharaj, yaitu pajak bumi, ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat peperangan yaitu kemudian dikembalikan dan digarap oleh pemiliknya. Sebagai imbalannya maka pemiliknya menyerahkan pajak bumi dan bangunan pemerintah Islam.
4.        ‘Usyur, yaitu pajak perdagangan atau bea cukai ( pajak imporr dan ekspor).
5.        Dlaribatuddam (pajak darah/nyawa), yaitu berupa jihad fisabilillah (perang dalam rangka menegakkan agama Islam).

G.           Kewajiban Zakat dan Pajak
Baik zakat maupun pajak didalam Islam kedua-duaanya  hukumnya wajib dalam rangka menghimpun dana yang diperlukan untuk kesejahteran dan kemaslahatan umat. Bedanya dari segi penetapan hukumannya. Zakat penetapan hukumannya dari aagama atau Syari’, lewat beberapa ayat Al-Qur’an dam Hadits Nabi. Sedangkan pajak kewajibannya berdasarkan penetapan atau ijtihad[16] Ulil Amri atau pemerintah. Penetapan pajak oleh pemerintah ini wajib dipatuhi oleh rakyatnyasejqalan denhgan adanya perintah dari agama untuk taat dan patuh kepada Ulil Amri aatau pemerintah. Allah SWT berfirman:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Atas dasar ini maka bagi warga negaara yang beragama Islam daa dua kewajibqan (kewajiban ganda) dalam kaitannya dengan harta atau kekayaan yang dimilikinya. Pertama, kewajiban zaakat dan kedua, Kewajiban pajak.
Disinilah titik temu dan letak persamaan serta perbedaan antara zajat dan pajak. Kedua-duanya sam-sama wajib. Bedanya zakat kewajibannya berdasarkan nash Agama (ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi). Sedangkan pajak kewajibannya berdasarkan ijtihad Ulil Amri, sejalan dengan tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan.
Sisi lain persamaan ialah keduanya sama-sama mempunyai nilai ibadah sosial sebagai realisasi Prinsip ta’awun atau tolong menolong, kerjasama, gotong royong yang kalau dilandasi niat yang tulus akan meendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah. Prinsip-prinsip tersebut selain merupakan nilai-nilai Pancasila juga merupakan tuntutan dan ajaran Islam atau nilai-nilai yang Islami.
Sisi lain mengenai perbedaan zakat dan pajak adalah dari segi obyek dan sasarannya. Obyek dan sasaran zakat telah ditentukan oleh agama berdasarkan Nash Al-Qur’an dengaan pengenbangan berdasarkan ijtihad Fuqaha’.[17] Sedangkan pajak sasarannya ditentukan oleh Ulil Amri yang pada prinsipnya adalah sebagai penopang dana operasional progran-program pemerintah dan pembangunan yang manfaatnya secara umum juga kembali kepada rakyat atau masyarakat.
H.           Islam Memberi Wewenang Ulil Amri atau Pemerintah untuk Mengelola Zakat dan Pajak
Ulil Amri atau Pemerintah menurut pandangan Islam bertanggung jawab terhadap kesejahteraaan rakyatnya. Dalam kaitan ini, Islam memberi wewenang kepada Ulil Amri untuk mengatur, mengelola dan mentasarrufkan zakat sesuai dengan tuntutan dan petunjuk-petunjuk Islam. Demikian agar pensyaria’atan zakat yang antara lain dimaksud untuk membantu mereka yang lemah yang memerlukan dan pemerataan kesejahteraan sosial itu  benar-benar dapat direalisir. Untuk itu maka BAZIS yang kini telah berjalaan perlu dibina, dikembangkan dan ditingkatkanfungsi dan perannya. Hal ini menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.
Kewenangan mengatur dan mengelola zakat yang diberikan oleh Islam kepada Ulil Amri ini antara lain berdasarkanfirman Allah :
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Kemudian dalam kaitannya dengan masalah pajak maka berdasarkan uraian diatas, Islam memberikan hak dan kewenangan kepada Ulil Amri untuk mengaturnya pula. Hal ini tentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi, kebutuhan dan kemasahatan. Dalam kondisi negara telah kuat dananya, di mana tidak memerlukan lagi iuran dari rakyatnya, maka bagi pemerintah hukumnya mubah untuk menerapkan dan menarik pajak atau meniadakannya. Sebaliknya dalam kondisi di mana roda pemerintahan tidak mungkin jalan dan program pembangunan tidak bisa dilakukan kecuali apabila ditunjang dengan dana dan iuran dari rakyat maka hukum mengadakan dan menarik pajak bagi pemerintah bisamenjadi wajib.
I.                   Pemerintah R.I Menurut Pandangan Ilmu Fiqih
1.                  Menurut kajian Fiqih Siasah, pemerintahan atau negara atau wilayah terbagi menjadi dua, yaitu Darul Islam (pemerintah atau negara atau wilayah Islam) dan Darul Harbi (Pemerintahan atau negara atau wilayah non Islam). Pemerintah atau negara atau wilayah Islam ialah pemerintahan/negara/wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, atau minoritas Islam akan tetapi umat Islam dilindungi oleh pemerintah dan dijamin untuk mengamalkan ajaran agamanya, mengembangkan dan menyebarluaskannya. Pemerintahan atau negara atau wilayah yang umat Islamnaya minorotas atau mayoritas akan tetapi pemerintah tidak melindungi hak-haknya dan tidak memberi kebebasan untuk mengamalkan ajaran agamanya dan mengembangkannya.

2.                  Suatu perundang-undanganatau peraturan dapat dinilai sebagai islami apabila
dalam proses penyusunan dan pembuatannya serta isinya memenuhi kriteria prinsip-prinsip umum hukum Islam sebagai berikut :
a.         Musyawarah (dibicarakan bersama untuk mengambil kesepakatan)
b.        Raf’il Haraj (tidak memberatkan atau mempersulit)
c.         Mashalih Mursalah (memenuhi hajat atau kepentingan umum)
d.        Tahqiqul ‘Adaalah (menjamin terwujudnya keadlian)
3.  Perundang-undangan atau peraturan yang sanggup mengantarkan umat manusia kearah kemaslahatan dan menjauhkannya dari mafsadah atau kerusakan dapat dianggap sebagai perundang-undangan atau peraturan yang Islami sekalipun hal itu tidak ditunjakkan oleh satupun ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi:.
Di Indonesia mayoritas penduduuknya adalah beragama Islam. Mereka bukan saja dilindungi hak-haknya, tetapi juga dijamin berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, mengembangkan dan menyebarluaskannya (ingat pasal 29 UUD 1945). Bahkan lebih dari itu pemerintah malah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan, dan menyemarakkan syi’ar Islam. Demikian juga para pejabatnya sejak dari Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, Gubernur dan lain-lain mayoritas adallah beragama Islam. Atas dasar ini maka apabila dilihat dari konsepsi dan teori pertama di atas maka tidak diragukan lagi bahwa negara Republik Indonesia termasuk kategori Darul Islam ( Pemerintahan/negara/wilayah Islam).
Atas dasar itu maka terjawabkaah pertanyaan-pertanyaan di atas. Pemerintah Indonesia yang berdasrkan Pancasila dan UUD 1945 adalah termasuk Ulil Amri yang wajib ditaati ole setiap muslim. Pemerintah Indonesia diberi hak untuk mengatur dan meengelola masalah zakat untuk kesejahteraan umat dan kepadanya pula diberi hak untuk menetapkan undang-undang atau peraturan perpajakan yang wajib di patuhi oleh setiab warga negara yang beraga Islam.
Dari sini sekali lagi seperti telah disinggung diatas warga negara Indonesia yang beragama Islam menpunyai kewajiban ganda terhadap harta bendaa miliknya, yakni kewajiban zakat dan kewajiban pajak. Disinilah sebenernya nampak bagi kita betapa besar andil dan partisipasi umat Islam Indonesia dalam menyukseskan pfrogran-program pemerintah dan pembangunan.
Demikianlah apabila kita memandang dan mengkaji eksistensi pemerintah RI inilewat Fiqih Siasah. Akan tetapi kalau kita memandangnya dari sisi falsafah dan UUD-nya maka pemerintah Indonesia adalah negara nasional yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila atau lazim disebut negara Pancasila.
Kedudukan Pemerintahan Ri sepanjang kajian hukum Islam dalam hal ini FiqihSiaasah perlu dimantapkan. Demikian agar umat Islam Dapat mendudukkandirinyasecara tepat daalam ikut mengisi kemerdekaandamn mensyukseskan pembangunan yang antara lain menunjang suksesnya kewajiban pajak.    






















BAB III
METODOLOGY

Makalah ini menggunakan pendekatan teoritis. Pendekatan teoritis merupakan pendekatan yang menekankan pada unsur teori. Tidak hanya pendekatan teoritis tetapi juga menggunakan metode penelitian berdasarkan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang menggunakan data kualitatif (data yang berbentuk data, kalimat, skema, dan gambar) dan suatu pendekatan yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas social, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan utama, yaitu pertama, menggambarkan dan mengungkap (to describe and explore) dan keduan menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).
Kebanyakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan eksplanatori. Suatu pendekatan kualitatif dieksplorasi dan diperdalam dari suatu fenomena social atau suatu lingkungan social yang terdiri atas pelaku, kejadian, tempat, dan waktu. Fenomena yang diangkat dalam penelitian kualitatif menjadi bahan baru dan hasil penelitiannya memiliki kontribusi terhadap teori.[18] Penelitian ini bertujuan untuk menjawab “Bagaimana kolaborasi antara zakat dan pajak sebagai sumber dana bagi bangsa dan negara ?” Jika dikaitkan dengan definisi penelitian kualitatif sebagai penelitian yang mengeksplorasikan dan memperdalam, maka kata “bagaimana” sangat tepat untuk memberikan penjelasan atas fenomena yang diteliti.
Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber dimanfaatkan.[19] Jenis penelitian kualitatif studi kasus ini memungkinkan agar peneliti mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang sangat khusus.









BAB IV
ANALISIS MASALAH

Dari pembahasan yang telah di bahas, dapat ditemukan adanya hubungan harmonisasi antara zakat dan pajak, terdapat titik persamaan antara pajak dan zakat yaitu :
a.              Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, karena keimanan dan keislamannya belum kuat, di sini pemerintah islam akan memaksanya, bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka punya kekuatan.
b.             Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga kemasyarakatan (negara), pusat maupun daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat itu harus diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan yang disebut dalam Quran : amil zakat (al amilin alaiha).
c.              Di antara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggita masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya dalam zakat. Pezakat tidak memperoleh suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku anggota masyarakat islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan dan solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi kepentingan umat islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya.
d.             Apabila pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik di samping tujuan keuangan, amka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek yang disbeutkan tadi dan aspek-aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.
Dari beberapa uraian, dapat diketahu efek-efek zakat baik langsung maupun tidak langsung diantaranya yaitu :
Efek langsung
·               Ketika delapan (8) asnaf yang berhak mendapat zakat menerima zakat maka mereka akan langsung membelanjakan uangnya untuk mengkonsumsi barang sehingga hal ini memicu peningkatan pada MPC (keinginan untuk mengkonsumsi). Misalnya : Awalnya makan ubi menjadi makan beras.
Efek Tidak Langsung
·               Ketika ada salah satu dari delapan asnaf yang tidak langsung membelanjakan uangnya seperti Amil. Uang zakat yang diterima tersebut akan diproduksi atau di distribusikan untuk membuka usaha dan lain-lain sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang belum mendapat pekerjaan.
·               Jika Zakat dimisalkan sebagai vaiabel Z dan variable tersebut ditambah pada perhitungan pendapatan nasional (GNP) maka GNP = Y + C + I + G + (X-M) secara otomatis akan meningkat.
Misalnya, pertumbuhan negara 6 % ketika ditambahkan variable zakat ke dalam perhitungan pendapatan nasional maka akan bisa meningkatkan menjadi 6,5-7 %. Hal ini akan menimbulkan adanya multiplier effect (efek berganda) pada pendapatan nasional suatu negara (GNP).
Jadi kolaborasi pajak dan zakat sangat berperan penting dalam pembangunan ekonomi baik masyarakat maupun negara. Zakat bisa menjadi salah satu alternative untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pajak bisa menjadi salah satu alternative dalam peningkatan pembangunan nasional. Dirasakan adanya tuntutan publik untuk mengharmoniskan hubungan pajak dan zakat demi kesejahteraan rakyat. Sungguh sangat dapat difahami tuntutan publik untuk mendialogkan relasi antara pajak dan zakat serta peranannya dalam kesejahteraan masyarakat. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam objek penarikan, yaitu kekayaan atau penghasilan. Penarikan ganda -oleh pajak dan juga oleh zakat- pada dunia usaha akan dirasakan sebagai sebuah gangguan. Pada tataran eksistensi dan akomodasi, relasi zakat dan pajak relatif telah menimbulkan rasa puas. Setidaknya pembayaran zakat dapat mengurangi penghasilan kena pajak.
Untuk memudahkan harmonisasi ini, maka perlu di buat Undang-Undang tentang Zakat (bukan sebatas pengelolaan zakat saja, tapi tentang zakat itu sendiri) dan memasukkan zakat sebagai komponen kredit pajak dalam UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, juga dilakukan penerimaan zakat yang terpusat secara nasional ke Baznas. Penerimaan zakat yang terpusat akan memudahkan pengawasan oleh pemerintah dan rekonsiliasi pembayaran zakat oleh Direktorat Jenderal Pajak ketika zakat diakui sebagai kredit pajak. Hal ini bukan meniadakan peranan amil zakat yang tersebar di seluruh Indonesia, yang dipusatkan hanya penerimaan saja, ketika zakat didistribusikan tetap melibatkan amil-amil zakat yang lain.













BAB V
PENUTUP

A.            Kesimpulan
Dalam uraian paper ini, dapat disimpulkan beberapa pernyataan bahwa baik zakat maupun pajak hukumnya sama-sama wajib, perbedaan kewajiban zakat berdasarkan Nash Agama. Sedangkan kewajiban pajak berdasarkan Ijtihad Ulil Amri atau pemerintah atau penguasa. Warga Indonesia yang beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar pajak sebagai realisasi ketaatan kepada Ulil Amri atau pemerintah yang juga diwajibkan oleh agama.
Hubungan antara zakat dan pajak adalah erat sekali. Kedua-duanya merupakan sumber dana kemsyarakatan meskipun penggunaan zakat lebih terbatas pada kemasyarakatan dalam lingkungan ukhuwah Imaniyah. Dalam lingkungan Imaniyah, zakat dimanfaatkan untuk pengamanan dan jaminan social, bantuan bagi musafir, santunan bagi yang tidak mampu, biaya pendidikan, latihan keterampilan, berkeluarga, bantuan karena bencana alam, modal koperasi, fakir miskin, modal simpan pinjam tanpa bunga dan lain-lain dalam batas yang tidak bertentangan dengan ketentuan delapan sanaf yang berhak menerima zakat.
Pajak tidak dapat mengganti zakat. Oleh karena itu, nisab zakat diperhitungkan dari total penghasilan bersih. Setelah dipotong biaya yang wajib dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan itu seperti pajak dan ongkos-ongkos, disamping kebutuhan pokok yang bersangkutan dan orang-orang yang wajib di tanggung nafkahnya. Sedangkan potongan yang nantinya kembali padanya, seperti tabungan pension, asuransi jiwa, kredit mobil dan lain-lain harus dimasukkan ke dalam jumlah nisab.

B.            Saran
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari terdapat banyak kesalahan dan kekurangan yang harus di perbaiki. Oleh karena itu, kami memohon kepada seluruh pembaca supaya bisa memberikan saran yang sifatnya membangun untuk kemajuan makalah ini kepada kami. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.











DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al Buny, Djamal’uddin.1983.Problematika Harta dan Zakat. Surabaya : Bina Ilmu
Wiwoho B, dkk.1991.Zakat dan Pajak. Jakarta : Bina Rena Pariwara
Proyek Pembinaan zakat dan wakaf.1986.Pedoman Zakat. Jakarta : PT Cemara Indah
Qardawi, Yusuf. 2004. Hukum Zakat.Jakarta : Litera AntarNusa




[1] Mu’jam Wasith, juz 1 hal 398
[2] Al-Majmu’, jilid 5 : 324
[3] Kumpulan fatwa “syekh, islam Ibnu Taimiah, jilid 25:8.
[4] Riwayat Ahmad dan Muslim
[5] Fiqhuz Zakah, 1/290 
[6] HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1459, katanya: shahih. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7242 , Ad Daruquthni No. 15
[7] HR. Bukhari No. 1484, Muslim No. 979Lima
[8] Fiqhus Sunah, 1/374
[9] Tafsir Ibnu Katsir III: 238-239
[10] Isytirikijah Islam Dr. Assiba’I (Damsik).
[11] Al ihya, jilid 1, hal. 193, cet. Al-halabi.
[12] Hadits riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Tabrani dari Sahl bin Said. Imam Sayuthi memberikan rumus pada hadis ini dengan rumus dhaif. Imam Mundziri mengisyaratkan kedhaifan hadits ini dalam at-Targhib.
[13] Tafsir ar-Razi, hal. 101
[14] Seorang Sosiolog ahli politik sejarahwan dan filsuf social islam (1332-2406)
[15] Syakhul Hadi, pendayagunaan zakat di samping pajak dalam rangka pembangunan nasional, hal. 107
[16] Ikhtiar atau hasil pemikiran
[17] Ijtihad para ahli fiqih
[18] Satori dan Komariah, 2010:24
[19] Menurut Yin (2009:18)